Kamis, 14 Februari 2013

Pencobaan Adam vs Pencobaan Yesus


Dewasa ini keragu-raguan akan ke-Allahan Yesus Kristus semakin mencuat, baik dari kalangan Kristen maupun non- Kristen. Mereka mengemukakan argumen-argumennya untuk membantah bahwa Yesus adalah Allah. Salah satu kasus yang menjadi pembahasannya adalah ketika Yesus dicobai. Beberapa orang berpendapat bahwa ketika Yesus dicobai di padang gurun oleh iblis, Ia berpotensi untuk berdosa. Mereka menyamakan posisiNya dengan Adam pada waktu di taman Eden. Tetapi kedua hal ini sebenarnya jelas sangat kontras dimana keadaan Adam pada waktu itu adalah dapat berdosa dan dapat tidak berdosa, sedangkan Yesus sama sekali tidak dapat berdosa (bukan tidak mau).
Dalam kehidupan sebagai pengikut Kristus, tentu kita diperhadapkan dengan berbagai macam pencobaan dalam berbagai bentuk dan tingkat kesulitan yang berbeda. Sebab seperti Firman Tuhan sendiri berkata bahwa ketika kita memutuskan percaya dan menerima Kristus Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat maka itu artinya kita telah siap untuk memikul salibNya.
Berbicara mengenai pencobaan kita diingatkan kepada Adam sebagai manusia pertama yang diciptakan oleh Allah sekaligus sebagai manusia pertama yang mengalami pencobaan. Tatkala Adam hidup dekat dengan Allah dalam taman Eden, ia melanggar titah yang telah Allah tetapkan yaitu tidak memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat. Iblis sebagai pencoba dengan giat melancarkan aksinya sampai sekarang ini, ia senantiasa mengintip setiap orang yang percaya. Keberdosaan Adam menjadikan semua keturunannya turut berdosa. Namun, oleh satu orang juga seluruh dunia selamat, oleh Dia Kristus sebagai Adam kedua yang telah menunjukkan kesetiaanNya di atas salib.

PENCOBAAN ADAM

Kelimpahan yang diberikan Allah kepada Adam ternyata tidak bisa membuat Adam merasa puas. Itulah sebabnya ketika iblis dalam rupa ular mencobainya, ia tidak bisa bertahan melakukan perintah Allah untuk tidak memakan buah larangan itu. Sebab sekalipun iblis berbicara kepada Hawa bukan Adam, namun tetap saja ia gagal karena ketika Hawa menawarkan buah larangan itu kepada Adam pasti ia menceritakan kepada Adam perihal perkataan iblis yang mengatakan bahwa mereka akan menjadi seperti Allah bila memakan buah itu dan Adam pun memakannya. Hal itu menunjukkan bahwa Adam ataupun Hawa memiliki keinginan untuk menjadi sama dengan Allah hingga akhirnya mereka mengabaikan perintah Allah.

Kondisi Manusia Pra-Dosa
Ketika Allah menciptakan manusia yang bernama Adam itu, Ia terlebih dulu membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup supaya menjadi mahkluk hidup (Kej. 2:7). Allah menciptakan manusia begitu sempurna, Ia tidak hanya memberi kehidupan jasmani tetapi Dia juga menanamkan dalam diri manusia nilai-nilai kerohanian. Allah juga tidak menciptakan manusia seperti robot yang harus dikendalikan untuk berbuat ini dan itu. Tetapi Allah memberikan kepada manusia kehendak, yaitu suatu pernyataan diri melalui aspek lain dari kepribadian manusia itu[1]. Selain itu manusia juga dibekali dengan hati nurani sebagai saksi dalam dirinya yang akan memberitahukan bahwa dia harus melakukan yang benar dan tidak melakukan yang dia anggap tidak benar.[2]
Bagaimana kodrat Adam dan hubungannya dengan Allah sebelum ia berdosa? Sebagai manusia yang dicipta langsung oleh Allah maka kondisi Adam adalah sempurna. Adam tidak berdosa sama sekali namun berpotensi untuk berdosa. Adam adalah manusia sempurna, namun dalam kesempurnaannya ia tidak sama dengan Allah. Ketika kita hendak menguraikan tentang hakikat moral Adam sebelum jatuh ke dalam dosa, maka jelaslah bahwa ia tidak berdosa. Sebagian orang mengatakan bahwa itu adalah kekudusan yang pasif yang menjadi Adam bebas dalam kesalahan. Kesuciannya begitu rupa sehingga menjadikan Adam sanggup untuk menikmati persekutuan yang sempurna dengan Allah.

Arti Pencobaan Adam
 Setelah Allah menciptakan manusia, maka Ia menempatkan mereka dalam taman Eden. Di taman inilah Allah “menguji” Adam dan Hawa berkaitan dengan ketaatan mereka. Kita jangan salah mengerti seolah-olah Allahlah penyebab manusia jatuh dalam dosa. Itu sebabnya kita harus membedakan “ujian” dan “cobaan”. Ia mengizinkan pencobaan itu ada tetapi bukan berarti bahwa Allah turut dalam pencobaan itu. Sebab sesungguhnya Allah tidak pernah mencobai siapapun (Yak.1 :13). Ujian yang diberikan Allah sangat sederhana: hal itu adalah untuk menentukan apakah mereka akan percaya atau tidak pada Allah dan menaati Dia. Namun demikian, ketidaktaatan memiliki akibat yang sangat fatal yaitu kematian, baik secara fisik maupun kematian rohani. Tujuan Allah dalam ujian ini adalah untuk memberikan Adam suatu pengetahuan akan dosa melalui ketaatan tidak memakan buah dari pohon pengetahuan. Tetapi mereka sampai pada pengetahuan yang baik dan salah dengan cara yang salah[3].
Pencobaan dari setan dalam rupa ular terorganizir dengan baik sampai-sampai manusia yang akrab dengan Allah sekalipun telah masuk dalam perangkapnya. Kalau kita melihat pencobaan yang dilakukan iblis, maka pencobaan itu dapat dibagi menjadi tiga fase:
·         Setan membangkitkan keraguan pada Firman Allah (Kej. 3:1). Iblis menciptakan kecurigaan akan kebaikan Allah.
·         Setan berdusta dengan mengatakan bahwa mereka tidak akan mati (Kej. 3:4). Setan membuat penyangkalan dari pernyataan Allah sebelumnya.
·         Setan mengatakan sebagian kebenaran (Kej. 3:5). Setan mengatakan bahwa mereka akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat. Memang itu benar tetapi setan tidak mengatakan selebihnya, tentang kesakitan, penderitaan, dan kematian yang akan timbul.

Pertalian Dosa
Ketidaktaat Adam kepada Allah memberi dampak sampai sekarang ini, yakni manusia telah berdosa sejak lahirnya yang disebut dengan dosa keturunan. Pengertian pertalian dosa adalah bahwa “semua orang telah berbuat dosa” (band. Rm. 5:12). Ada sebagian orang yang memahami ungkapan in menyatakan bahwa setiap orang berbuat dosa secara pribadi, dan akibatnya manusia mati. Dosa yang dipertalikan ditularkan secara langsung dari Adam kepada setiap orang dalam tiap-tiap generasi. Dosa yang dipertalikan merupakan suatu pertalian secara langsung, tidak melalui perantara orangtua. Hal inilah yang membedakan dosa pertalian dengan dosa warisan.[4]

PENCOBAAN YESUS
Sama dengan Adam Tuhan Yesus Kristus pun mengalami pencobaan ketika Ia berpuasa di padang gurun selama empat puluh hari, empat puluh malam. Tiga kitab Injil pertama dalam Alkitab menceritakan peristiwa Yesus dicobai di padang gurun dengan versinya masing-masing, namun tetap pada tujuan yang sama (Mat. 4:1-11; Mar. 1:12-13; Luk. 4:1-13). Perbandingan pencobaan yang dialami Yesus dan Adam akan dikupas dalam bab selanjutnya maka kita akan melihat pencobaan yang dilakukan iblis dengan tujuan yang sama yaitu untuk menjatuhkan, tetapi dengan respon yang berbeda dari Adam dan dari Yesus Kristus.
Peristiwa Yesus dicobai di padang gurun merupakan salah satu bagian kehidupan Yesus yang sangat penting. Hampir semua penulis kitab injil membahas hal ini (Mat 4:1-11; Mar 1:12-13; Luk 4:1-13), kecuali Yohanes. Penulis kitab Ibrani  juga menyinggung tentang pencobaan Yesus (4:15), walaupun rujukan ini bukan hanya terbatas pada pencobaan di padang gurun. Pencobaan yang dialami Yesus tidak terpisahkan dari peristiwa sebelumnya, yaitu baptisan, karena dua peristiwa ini sama-sama berhubungan dengan status Yesus sebagai Anak Allah. Bapa memproklamasikan Yesus sebagai Anak-Nya (Luk 3:22; Mzm 2:7), sedangkan iblis menjadikan proklamasi tersebut sebagai sasaran serangan (Luk 4:3, 9 “Jika Engkau  Anak Allah...”). Bapa memproklamasikan Yesus sebagai Anak Allah yang menderita (Yes 42:1; 53:1-12), tetapi iblis berusaha menggoda Yesus untuk mengambil jalan yang tanpa penderitaan/salib.



Nature Yesus
Yesus tidak pernah melakukan apapun yang tidak menyenangkan Allah atau melanggar segala perintah Allah yang seharusnya ditaatiNya seumur hidupNya atau gagal menampakkan kemuliaan Allah dalam hidupNya (Yoh. 8:29).[5] Bahkan sampai Ia dicobai di padang gurun, sedikitpun Ia sama sekali tidak melakukan dosa.  Sebelum melangkah lebih jauh mengenai pencobaan Yesus sebaiknya terlebih dahulu kita melihat bagaimana nature Yesus. Yesus Kristus yang kita percaya sebagai Tuhan dan Juruselamat kita adalah salah satu pribadi Allah Tritunggal, yang biasa disebut dengan Allah Anak atau Allah Putra. Maka dengan demikian Yesus adalah Allah, Ia secara mutlak setara dengan Bapa dalam pribadiNya dan karyaNya. Kristus adalah Ilahi yang tak dapat dikurangi. Alkitab dengan tegas menyatakan keilahianNya, itu dapat kita lihat dalam atribut-atributNya, seperti: Dia kekal adanya, Dia Mahahadir (Mat. 28:20), Dia Mahatahu (Yoh. 2:25), Mahakuasa (Mat. 28:18), tidak berubah (Ibr. 13:8), dsb.
Keberdosaan manusia telah membuat manusia itu sendiri kekurangan kemuliaan Allah dan tidak ada satu korbanpun yang sanggup mengembalikan kemuliaan itu selain Allah harus sendiri yang menjadi korban.  Karena Dia Allah tentu tidak bisa mati, maka dengan penuh kasih Ia datang merendahkan diri meninggalkan kemuliaanNya, menjadi manusia hanya untuk memikul dosa yang tidak Ia perbuat. Allah turun ke dunia terlihat dalam inkarnasi Yesus Kristus, sehingga Yesus disebut sebagai Allah sejati sekaligus manusia sejati. Apabila Yesus bukan manusia sejati, maka kematianNya di atas kayu salib merupakan ilusi. Tetapi, meskipun dalam rupa sebagai manusia, Yesus tidak bisa bahkan tidak memiliki kemampuan untuk berdosa, mengapa? Jangan lupa bahwa Dia juga Allah sejati, Allah tidak mungkin berbuat dosa.


Tujuan Pencobaan Yesus
Meskipun Yesus selama pelayananNya di bumi berulangkali “dicobai”, tetapi pencobaan terbesar adalah pencobaan ketika di padang gurun. PencobaanNya merupakan ujian untuk mendemonstrasikan kemurnianNya dan ketidakberdosaanNya (Ibr. 4:15) tanpa sekalipun kemungkinan kecenderungan kepada yang jahat. Tatkala Yesus sedang berpuasa empat puluh hari empat puluh malam lamanya, iblis menyangka bahwa Yesus akan jatuh ke dalam kuasanya. Manusiawi Yesus saat itu memang dalam keadaan yang sangat lemah mengingat puasa yang sedang ia jalani, namun jangan lupa bahwa Ia adalah Allah yang kerohanianNya tidak pernah mati atapun melemah.

Kemenangan Atas Dosa
Ketika dicobai di padang gurun, Kristus menunjukkan suatu keunggulan pribadi yang luar biasa. Setelah berpuasa selama 40 hari, keadaan fisikNya menjadi lemah, tetapi kerohanianNya tetap begitu kuat. Kristus menjawab semua cobaan iblis dengan memakai Firman. Tuhan Yesus yang menyatakan kesejajaranNya dengan manusia untuk menggantikan posisi Adam yang pertama. Dia sebagai Adam yang kedua atau yang terakhir. Yesaya 53:10-11 menyatakan bahwa jikalau Kristus mau menyerahkan diriNya maka keturunanNya umurnya akan lanjut, maka Dia akan melihat banyak orang akan dibenarkan; tetapi untuk itu, Dia sendiri harus menjadi korban. Perintah ini begitu berat. Respon yang dilakukan oleh Kristus berbeda dengan Adam. Kristus taat mutlak kepada Bapa sedangkan Adam tidak taat.

Iblis tahu bahwa saat itu Yesus sedang dalam keadaan lapar, tentu kondisi fisiknya sangat lema.Dalam menghadapi semua pencobaan, Yesus berhasil menanganinya dengan baik. Ia tidak terjebak dengan tidak menggunakan ke-IlahianNya. Karena pada waktu hidup di dunia sebagai manusia Yesus tidak pernah menggunakan keilahianNya untuk kepentinganNya sendiri. Kalau Ia selalu menggunakan keilahianNya untuk kepentinganNya sendiri, maka Ia tidak akan bisa menderita bagi kita. Inilah teladan yang diberikan Yesus kepada kita, yaitu menang terhadap segala pencobaan dan kita akan meraih kemenangan bersama  Yesus Kristus Tuhan kita.

 
KESIMPULAN

Kesimpulan
               Kalau kita membandingkan kedua pencobaan ini, antara pencobaan yang dialami Adam dan Yesus,  jelas sangat berbeda. Oleh karena itu, kita bisa mengambil kesimpulan dari perbandingan kedua pencobaan ini.
               Pertama: Adam pertama dicipta dalam keadaan tanpa dosa, ia adalah manusia sempurna. Demikian juga dengan Kristus, Ia yang meskipun telah menjadi manusia, namun Ia tidak berdosa. Yang membedakan keduanya adalah Adam pertama tidak berdosa, namun berpotensi berbuat dosa. Sedangkan Adam kedua tidak berdosa dan tidak berpoteni untuk berdosa. Kalau Kristus adalah manusia, pada saat dicobai apakah Dia berkemungkinan untuk berbuat dosa? Berabad-abad yang lampau orang berusaha memberikan jawaban atas pertanyaan ini yaitu: Kristus tidak mungkin berbuat dosa karena Dia adalah Allah 100%. Tetapi dalam kemanusiaanNya, apakah Dia mungkin berbuat dosa? Tentu jawabannya tetap tidak, Yesus adalah Allah, dalam diriNya sama sekali tidak ada keinginan untuk berdosa. Itulah sebabnya Yesus berhasil dalam mengatasi pencobaan iblis di padang gurun.
               Kedua: Adam yang pertama tidak berada di padang gurun, tetapi di taman Eden yang enak. Di dalam kondisi yang enak di taman yang indah, taman yang baik, namun ketika pencobaan datang manusia pertama itu gagal dan jatuh. Dosa yang ia perbuat terus menjalar sampai manusia sekarang ini. Anti-type-nya: Adam yang kedua tidak ditaruh di taman Eden yang enak tetapi di padang gurun yang gersang, di tengah-tengah segala kesulitan, lapar dan dahaga, tapi justru Adam yang kedua  berhasil taat sepenuhnya kepada Tuhan.
Yesus adalah Adam kedua atau Adam terakhir. Ia diindentifikasikan sebagai Adam kedua karena dikontraskan dengan Adam pertama, manusia pertama. Adam pertama adalah manusia ciptaan Allah yang telah berdosa dan gagal mengemban mandat Allah, tetapi Yesus Kristus adalah Adam kedua yang melalui-Nya berkat-berkat Allah dan anugerah Keselamatan diberikan kepada manusia keturunan Adam pertama. Baca dan renungkan ayat-ayat berikut:
Roma15:5
"Tetapi karunia Allah tidaklah sama dengan pelanggaran Adam. Sebab, jika karena pelanggaran satu orang semua orang telah jatuh di dalam kuasa maut, jauh lebih besar lagi kasih karunia Allah dan karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya atas semua orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus."
Roma 15:22
"Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus."
I Korintus 15:45
"Seperti ada tertulis: "Manusia pertama, Adam menjadi makhluk yang hidup", tetapi Adam yang akhir menjadi roh yang menghidupkan."

Senin, 11 Februari 2013

SATU ALKITAB DUA PERJANJIAN


Pandangan PL

Salah satu aspek PL yang paling penting adalah pengharapannya akan masa depan.

a.        Perkembangan pengharapan masa depan
Pengharapan akan masa depan dapat dilihat dalam beberapa bagian dalam PL, khususnya dalam kitab-kitab pentateukh. Pengharapan itu meliputi harapan berkat-berkat jasmani dan rohani. Sedangkan harapan perubahan radikal baru muncul kemudian. Pengharapan ini didasari oleh karya Allah dalam sejarah Israel di masa lalu pun dimasa yang akan datang.

b.      Eskatologi Para Nabi
Pengharapan akan keselamatan atau yang bersifat eskatologi dalam konteks sempit banyak dibicarakan oleh para nabi pada masa pembuangan. Israel mengenal hari Tuhan, dan berbicara hari Tuhan bangsa Israel mengenalnya sebagai hari dimana Allah campur tangan atas Israel. Dan pengharapan eskatologi utama Israel tertuju pada seorang tokoh yang diutus Allah sebagai pembebas sekaligus raja mereka, dialah Mesias.
c.       Eskatologi Apokaliptik
Tampaknya ada perkembagnan dalam eskatologi Israel menuju apokaliptik, perkembangan ini di latar belakangi oleh kekecewaan yang mendalam dari bangsa itu dimana Mesias yang diharapkan tak kunjung datang.

d.       Pengharapan dan Ketegangan
Hingga berakhirnya masa Perjanjian Lama, pengharapan masih dinantikan disertai ketegangan-ketegangan yang tak terpecahkan. Penulis PL berpendapat bahwa Allah berdaulat atas sejarah dunia namun secara praktis tampaknya tujuan-Nya belum terpenuhi karena terhalang dosa.
Pandangan Perjanjian Baru
Perjanjian Baru yakin bahwa Mesias yang dijanjikan di Perjanjian Lama telah lahir dan umat-Nya akan diperbarui.

a.        Yesus dan PL
Pribadi-pribadi, pranat-pranat, pengalaman-pengalaman Israel pada masa PL dilihat sebagai tipe pribadi dan karya Yesus. Pada satu sisi Yesus menegaskan otoritas PL yang mutlak (Mat. 5:17-20; 22:34-40), pada sisi lain Dia berani mempertajam maupun membatalkan beberapa ketentuan (Mat. 5:21-48; Mrk. 7:14-23). Tetapi menurut saya pendapat ini terlalu ekstrim, sebab Yesus sendiri mengatakan bahwa Ia tidak membatalkan apa yang tertulis di PL melainkan menggenapinya.
b.      Struktur Dasar Teologi Kristen
Menurut Dodd, jemaat Kristen mula-mula mengembangkan suatu metode pemahaman ALkitab yang baru dengan menafsirkan beberapa nats PL sebagai kesaksian tentang KRistus. Bagian-bagian PL ini dan tafsirannya dalam PB mengandung konsep-konsep pokok tentang Kristus yang merupakan struktur dasar teologi Kristen.
c.        
Penafsiran PL oleh PB
Menurut Assler ciri penafsiran PL oleh penulis PB ialah”
·         Mereka memilih orientasi dasar yang sama terhadap Perjanjian Lama dan menyadari bahwa makna peristiwa-peristiwa Injil hanya dimengerti dengan jelas dalam terang PL;
·         Mereka mengakui PL sebagai kesaksian yang meneguhkan kesaksian mereka sendiri;
·         Mereka menegaskan PL sebagai kesaksian yang sudah direncanakan lebih dahulu, suatu janji yang menunjukkan makna teologis peristiwa-peristiwa dalam sejarah keselamatan sebelum peristiwa-peristiwa tersebut terjadi; dan
·         Mereka menafsirkan PL sebagai kesaksian tentang penataan dan penyelamatan Allah dalam sejarah.

d.      Penggenapan dan Pemecahan
Salah satu aspek pokok dari pemberitaan PB ialah bahwa Yesus menggenapi harapan-harapan PL, bahwa dalam PL ada ketegangan-ketegangan yang tak terpecahkan. Dalam buku ini penulis memaparkan masalah, seperti yang terjadi dalam jemaat Kristen mula-mula yaitu ketegangan antara orang Yahudi dan bangsa lain, antara umat Israel dan umat Kristen, masalah peran Yesus sebagai Mesias. Tetapi penulis belum membahas masalah-masalah tersebut lebih mendetail.

KEDUA PERJANJIAN DALAM SEJARAH PENAFSIRAN
Jemaat Mula-mula
Tokoh PB seperti Yesus, Petrus dan Paulus mengandalkan PL sebagai dasar iman mereka dan yang menjadi masalah bagi mereka ialah bagaimana menghubungkan peristiwa-peristiwa baru yang mereka alami dengan peristiwa-peristiwa pada zaman PL. Menurut saya hal ini tak berlaku bagi Yesus, sebab kita percaya bahwa Yesus tahu betul keberadaan-Nya sebagai penggenap PL. Masalah yang muncul dalam jemaat justru sejauh mana PL masih berlaku dan relevan sesudah PB lengkap dan bagaimana hubungan PL dan PB harus dimengerti?
PL dan PB bagi bapa-bapa gereja merupakan satu Alkitab, meskipun kanon belum ditetapkan sepenuhnya. Tetapi tidak bagi Marcion yang berpendapat bahwa tak ada kesinambungan yang radikal antara PL dan PB. Sehingga ia membuang PL dan beberapa bagian dari PB yang tidak sesuai dengan teorinya. Teori Marcion ditolak oleh beberapa ahli Alkitab sperti Irenus, Tertuliannus, Origen, dan Clemens, meskipun beberapa dari beberapa dari mereka ini kerapkali menggunakan tafsiran alegoris. Tokoh lain seperti Theodorus dan Augustinus meyakinkan PL sebagai bagian dari dari Alkitab Kristen. Pandangan mereka disebut sebagai pandangan ortodoks dengan menggunakan pendekatan harfiah dan tipologi.
Abad Pertengahan
Pendekatan-pendekatan yang dipakai oleh ahli-ahli pada masa ini adalah pendekatan harfiah, alegoris, moral dan anagogis. Mereka setuju bahwa PB berkesinambungan dengan PL walaupun mereka juga menganggap bahwa PB masih lebih unggul dari PL.
Reformasi
Luther dan Calvin yang disebut-sebut sebagai tokoh reformasi gereja terlebih suka memakai tafsiran harfiah dan menekankan Kristosentris dalam Alkitab. Hal ini terlihat dari karya-karya mereka yang merupakan tafsiran dan eksposisi. Bahkan aliran reformasi yang lain seperti anabaptis dan dalam konsili trente melihat hubungan antara kedua Perjanjian ialah bahwa kesatuan Alkitab diakui yang dapat dilihat dari rangka janji dan penggenapannya, tetapi hampir tidak ada tempat bagi penelitian lebih lanjut karena penafsiran tradisional harus diterima dan tidak boleh dipertanyakan. Situasi ini tidak banyak berubah hingga pertengahan abad kedua puluh.
Abad ke-17 hingga abad ke-19
Reformasi membangkitkan perhatian yang besar untuk mengkaji ALkitab secara sungguh-sungguh, walupun cara yang benar untuk mengerti hubungan antara kedua perjanjian sama sekali belum tuntas. Kemudian muncullah pertentangan antara penganut konservatif yang mempertahankan pandangan ortodoks dengna pmeikir-pemikir yang lebih progresif. Sejak remorfasi maka banyak pemikiran-pemikiran yang baru lahir. Tak puas dengan cara-cara penafsiran tradisional para ahli pun mengembangkan penelitiannya dengan mengandalkan penelitian bahasa dan sejarah. Bukan hanya itu bahkan lahir inovasi baru seperti Schleiermacher yang berusaha menukar tempat PL dengan PB dengan maksud menunjukkan keutamaan PB.
Dalam perkembangannya, para pakar Alkitab mulai melihat hubungan kedua perjanjian dengan pendekatan-pendekatan yang lebih modern. Adapun pendekatan modern itu adalah:

A.    Perjanjian Baru Sebagai Alkitab yang Hakiki
Pendekatan ini diteliti oleh Rudolf Bultmann, berkebangsaan Jerman yang terkenal pada pertengahan abad kedua puluh. Bultmann tidak menganggap PL sebagai kitab Kristen tetapi ia menerimanya sebagai prasyarat atau praanggapan bagi PB. Bultmann melihat kedua perjanjian dengan cara melihat makna PL bagi iman Kristen kemudian ia membahas tentang “nubuat dan penggenapan”.
Dalam buku ini saya melihat bahwa Bultmann tidak menilai pendekatan itu secara umum, melainkan hanya menunjukkan bahwa pendekatan itu menyangkut hubungan historis antara agama-agama kedua perjanjian dan tidak ada kaitannya dengan hubungan teologis. Kemudian ia mengembangkan suatu pendekatan yang lebih bersifat teologis dengan mempertanyakan makna PL bagi iman yang meyakini penyataan Allah dalam Yesus Kristus.
Bagi Bultmann PL bukanlah penyataan Allah bagi orang Kristen dalam arti historis dan juga bukan dalam arti eskatologis seperti yang dimengerti dalam PB. PL mengandung suatu pemahaman tentang eksistensi manusia yang bersifat normative bagi kehidupan Kristen, yakni hakikat manusia sebagai ciptaan serta dosanya. Orang yang beriman melihat di dalam PL gambaran eksistensinya sendiri dan menerimanya sebagai firman Allah. Dengan demikian secara tak langsung PL dapat dipandang sebagai penyataan Allah bagi iman Kristen dengan syarat: PL harus digunakan secara harfiah dan hanya sejauh benar-benar menjadi persiapan bagi pemahaman Kristen akan eksistensi manusia.
Mengenai nubuat dan penggenapan, Bultmann melihatnya dalam sudut pandang ramalan, sejarah dan “Perjanjian, kerajaan dan umat Allah.” Berdasarkan penelitian ketiga konsep tersebut, Bultmann mengembangkan pengertian nubuat sebagai kegagalan dan janji. Kegagalan sejarah ini menunjukkan bahwa tidak mungkin mewujudkan perjanjian, kerajaan Allah dan umat Allah di tengah-tengah Israel sebagai persekutuan historis. Maka penggenapan bukanlah hasil perkembangan sejarah tetapi akibat pertemuan dengan anugerah Allah.
Dalam buku ini, penulis memperkenalkan 4 orang ahli lainnya dengan pandangan mereka mengenai hubungan kedua perjanjian. Dan disimpulkan bahwa mereka setuju dengan Bultman yaitu bahwa PB adalah Alkitab hakiki dan PL sedangkan PL hanyalah sebagai prasyaratnya yang bukan Kristen tetapi yang tetap bermanfaat asal dimengerti dalam terang PB. Bahkan seorang diantara keempat ahli tersebut yaitu Emanuel Hirch dengan ekstrim menyingkirkan hubungan kedua perjanjian.

B.     Kedua Perjanjian Sama-sama Kitab Suci Kristen

Pendekatan yang kedua ini bersifat lebih soft dengan menerima kedua perjanjian sebagai Alkitab Kristen. Wilhelm Vischer berpendapat bahwa memang ada  hubungan antar kedua perjanjian, sebab ia melihat bahwa PL juga memberi kesaksian tentang Yesus Kristus yang terang dijelaskan dalam PB. Untuk melihat hubungan keduanya, Vischer menggunakan pendekatan historis dan linguistic yang didasarkan pada metode ilmiah yang kokoh. Tetapi dalam tafsirannya Vischer sering dikritik karena banyak tafsirannya yang masih spekulatif. Dalam karyanya dia berusaha melihat Yesus sebagai Kristus yang dinantikan PL. Jadi PL bukanlah suatu penyataan yang berdiri sendiri melainkan puncaknya berada di luar dirinya, yaitu dalam penyataan Kristus dalam PB.
Selain Vischer, penulis mencantumkan beberapa ahli lain yang juga melihat hubungan kedua perjanjian dengan melihat pribadi Yesus sebagai kunci penyatu kedua perjanjian. Mereka adalah Karl Barth, Edmond Jacob, George A. F. Knife, dan Brevard S. Child.

C.     Perjanjian Lama sebagai Alkitab yang Hakiki

Ini adalah pendekatan oleh Arnold A. van Ruler yang melihat hubungan antara PL dan PB sebagai hubungan prioritas. Berkenaan dengan masalah hubungan antara PL dan PB sebagai kitab suci Kristen dan masalah PL sebagai kitab Israel, Van Ruler tidak memberi opini sebagai usaha penyelesaian kedua masalah tersebut. Tetapi ia menjelaskan bahwa otoritas kedua perjanjian harus diakui dan walaupun PL menjadi penyataan bagi bukan orang-orang Yahudi melalui Yesus Kristus, namun umat Israel tetap ada dan memiliki peranan yang penting dalam sejarah Allah bersama dunia. Melalui pendekatannya, van Ruler menetapkan 5 dalil utama;
·         ada ketidakserasian antara kedua perjanjian;
·         PL memiliki kelebihan dibandingkan dengan PB;
·         Yesus KRistus adalah suatu tindakan darurat dalam sejarah Allah dengan Israel;
·         ajaran tentang penciptaan lebih penting daripada ajaran tentang penyelamatan; dan
·         kerajaan Allah adalah konsep utama PL.

D.    Kedua Perjanjian Sebagai Satu Sejarah Keselamatan

Dan pendekatan modern terakhir ialah mereka yang melihat kedua perjanjian sebagai satu serajah keselamatan. Pendekatan oleh Gerhard von Rad yang melihat hubungan PL dan PB dalam konsep sejarah keselamatan. Menurut von Radd dasar sejarah keselamatan Israel terdapat dalam pengakuan-pengakauan yang mula-mula (Ul. 26:5b-9) dan secara hakiki menyangkut iman dan bukan fakta.  Dalam analisanya von Rad juga menggunakan pendekatan yang mencakup konsep-konsep sejarah tradisi, sejarah keselamatan dan aktualisasi. Dalam pendekatannya von Rad memiliki kelemahan mendasar seperti pandangannya tentang sejrah dan realitas sejarah keselamatan. Selain itu ada dua aspek pendekatan von Rad yang lain yaitu tipologi serta janji dan penggenapan.
Studi banding dalam bab ini, beberapa tokoh yang lain juga sejalan dengan von Rad yang cenderung merumuskan hubungan antara kedua perjanjian itu dengan istilah “perjalanan-perjalanan iman” dan “titik temunya” pada Yesus dari Nazaret.
Itulah ringkas dari keempat pendekatan modern yang dipaparkan dalam buku ini.



Dalam bab selanjutnya penulis menjelaskan mengenai tiga tema kunci yang dapat dipelajari untuk dapat melihat hubungan antar PL dan PB.

A.    Tipologi
Memanfaatkan pendekatan tipologi dalam memahami hubungan teologis antara PL dan PB bergantung seutuhnya pada apa yang dimaksudkan dengan istilah tersebut. Penulis buku menyajikan suatu penelitian semantik, teologis dan hermeneutis tentang dasar dan sifat tipologi. Dasar tipologi yaitu memperhatikan defenisi dari tipologi itu sendiri dalam Alkitab, yaitu “contoh dan teladan”, melihat unsur analogi dan persesuaian, juga ilustrasi.

B.     Janji dan Penggenapan
Janji dan penggenapan adalah tema utama dalam PL dan PB. Hubungan antara kedua perjanjian tidak hanya mengenai pembuktian benar tidaknya ramalan-ramalan, melainkan kita juga dapat melihat bahwa janji yang diberikan Allah kepada para bapa leluhur merupakan landasan bagi eksistensi umat Allah di sepanjang PL dan PB. PL dan PB merupakan satu kesatuan, saling berkaitan dan saling bergantung satu sama lain. 

C.     Beraneka Ragam Tetapi Bersatu
Dalam hubungan PL dan PB ada suatu sejarah yang berkesinambungan yang mengikat keduanya menjadi satu kesatuan. Tidak hanya kesatuan historis, ternyata di dalamnya terdapat suatu kesatuan yang bersifat teologis. Kedua perjanjian mempunyai pemahaman dasar yang serupa tentang Allah, manusia, dunia dan hubungan antar ketiganya tetapi bukan berarti teologi-teologi yang ada dalam kedua perjanjian ini sama saja.

Hubungan Teologis Kedua Perjanjian
Untuk dapat memahami PL dan PB sebagai satu kesatuan maka kita akan melihat konsep yang mengarah kepada suatu pemahaman alkitabiah tentang hubungan teologis keduanya.

A.    Perhatikan bahwa PL dan PB sama-sama merupakan kitab suci Kristen yang berpusat pada Kristus

B.     Adanya hubungan yang progresif berkenaan dengan sejarah keselamatan, peristiwa-peristiwa sejarah keselamatan terus-menerus diaktualisasikan dalam PL dan PB. Tetapi penyelamatan bukan menjadi tujuan akhir karya Allah, sebab kita diciptakan bukan untuk diselamatkan. Tetapi  kita diselamatkan untuk menjadi seperti maksud pencipta kita semula.

C.     Menganalisa adanya unsur tipologi dalam PL, tentunya dengan memperhatikan tipologi yang berkembang dengan mengkaji kembali makna “tupos” yang dapat berarti gambar, contoh, teladan, atau pola.

D.    Rumusan yang tepat untuk melihat korelasi kedua perjanjian adalah rumusan janji dan penggenapan yang memiliki cakupan lebih luas dibanding ‘ramalan dan penggenapan’.

E.     Aspek lainnya adalah adanya kesinambungan dan ketidaksinambungan, artinya Alkitab dicirikan oleh kesatuan dan keanekaragaman.


FIDEISME

Fideisme adalah ajaran teologi yang selaras dengan pandangan yang menyatakan bahwa iman tidak membutuhkan pembenaran rasional; sesungguhnya iman, dalam bidang agama, adalah wasit bagi akal pikiran dan dalih-dalihnya. Fideisme adalah kebalikan dari rasionalisme. Fideisme (dari kata Latin ‘:fides”, iman) secara harfiah berarti "iman-isme" adalah sikap membatasi diri pada iman akan wahyu Allah, dan sekaligus menganggap bahwa penggunaan nalar manusia tidak perlu. Fideisme adalah teori epistemologis yang mempertahankan bahwa iman tidak tergantung pada alasan, atau bahwa akal dan iman yang bermusuhan satu sama lain dan iman adalah unggul di tiba di kebenaran tertentu.
Fideisme dapat berwujud iman sederhana seseorang yang merasa cukup dengan mengikuti pedoman agamanya, tak perduli kepada segala macam pikiran, kritik, keresahan intelektual atau paham-paham baru yang diramaikan. la dapat juga berwujud pandangan dunia yang secara prinsipiil menolak segala pertimbangan nalar sebagai tidak memadai terhadap kepastian yang merupakan ciri hakiki wahyu Allah.
Fideisme pada hakekatnya tidak menyadari bahwa kemampuan manusia untuk bernalar adalah juga ciptaan Tuhan yang diberikan untuk dipergunakan serta dimanfaatkan demi tujuan yang baik. Kecuali itu, fideisme salah dalam pengandalan bahwa antara hasil nalar dan wahyu ilahi mesti ada pertentangan. Fideisme mengagungkan iman dan menganggap akal budi menghalangi karya Tuhan. Fiedeisme yaitu iman tanpa akal budi menjadikan manusia tidak manusiawi.

Apologetika
Iman dan akal Budi tidaklah bertentangan. Kita harus mendudukkan pada posisinya masing-masing. Ada pengetahuan yang tidak bisa dicapai akal budi manusia kecuali bila diberitahukan/diwahyukan Allah seperti misteri kesalamatan manusia oleh Yesus Kristus. Namun akal budi akan berusaha untuk mengerti apa yang diimaninya. Iman berusaha untuk memahami.
Akal budi diciptakan oleh Allah, dan semua yang diciptakan oleh Allah tidak ada yang tidak berguna. Akal budi merupakan saran yang Allah gunakan untuk menyatakan diri-Nya kepada manusia, contohnya: wahyu umum. Dengan wahyu umum yang dapat diterima oleh akal budi manusia dapat mengenal Allah.
Menurut kami kaum fideist adalah orang-orang yang fanatik yang menerima kebenaran berdasarkan pengalaman religious, dan mengabaikan akal budi. Hal ini bertentangan dengan perintah Tuhan bahwa pengenalan akan Tuhan juga menggunakan akal budi (bdg dengan hukum kasih yaitu kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hati, akal budi dan kekuatanmu).