Jumat, 25 November 2011

ANTROPOLOGI



MANUSIA ADALAH GAMBAR DAN RUPA ALLAH 



BAB I
PENDAHULUAN

Doktrin yang mempelajari manusia merupakan salah satu bagian dari teologi sistematik. Dimana doktrin ini membahas secara lengkap tentang manusia dalam hubungannya dengan pencipta dan alam semesta. Alkitab memberi dua catatan tentang penciptaan manusia, pertama dalam Kej. 1:26-27 dan yang kedua dalam Kej. 2:7, 21-23. Para higher Criticism berpendapat bahwa terdapat dua kali penciptaan manusia. Namun sebenarnya tidaklah demikian: Kej. 1 mengisahkan penciptaan manusia dan Kej. 2 memperjelasnya.
Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupaNya. Bagian lain dari Alkitab yang relevan dengan pengajaran ini adalah dalam Kej. 5:1,3 yang memuat tentang penularan gambar (citra) Adam kepada keturunannya; Allah menciptakan manusia dengan begitu rupa, segambar dan serupa dengan Dia, itulah sebabnya manusia adalah ciptaan yang berbeda dengan ciptaan lainnya. Pengertian gambar dan rupa Allah ditafsirkan beragam oleh para teolog-teolog. Kita akan melihat dalam bab selanjutnya bagaimana pandangan-pandangan mengenai penertian manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah.



BAB II
MANUSIA SEBAGAI GAMBAR DAN RUPA ALLAH
DALAM BERBAGAI PANDANGAN

Doktrin tentang gambar dan rupa Allah dalam diri manusia sangat penting dalam teologi, sebab gambar dan rupa Allah ini adalah suatu kualitas yang menjadikan manusia istimewa dalam hubungannya dengan Allah. Kenyataaan bahwa manusia adalah gambar dan rupa Allah menjadikan manusia berbeda dengan binatang dan dengan semua makhluk lain. Banyak yang sudah ditulis orang untuk menjelaskan apa sebenarnya yang dimaksudkan bahwa manusia itu diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Berikut adalah konsep-konsep tentang gambar dan rupa Allah dalam diri manusia.
2.1. Pandangan Katolik
Katolik membedakan gambar dan rupa. Gambar adalah gambar alamiah milik manusia sebagai makhluk yang dciptakan termasuk di dalamnya ialah kerohanian, kebebasan, dan kekekalan. Rupa adalah gambar moral yang bukan milik manusia pada saat ia diciptakan tetapi yang pada mula sekali ditambahkan dengan cepat pada manusia. Penambahan ini perlu karena kecenderungan wajar pada keinginan yang lebih rendah walau hal itu bukannya dosa. Pada waktu manusia berdosa, ia kehilangan rupa Allah tetapi tetap memiliki gambar. Sebab itu kebenaran semula yang telah hilang dapat diperoleh melalui sakramen-sakramen katolik.
2.2. Pandangan Neo-Ortodoks
Karl Barth yang sering disebut-sebut sebagai bapak neo-ortodoksi mengungkapkan pemahamannya bahwa gambar dan rupa Allah tidak terdapat di dalam intelek atau rasio seseorang. Barth menolak untuk menempatkan gambar Allah di dalam setiap bentuk deskripsi antropologis keberadaan manusia, baik itu strukturnya, wataknya, kapasitasnya dll.[1] Meskipun para teolog sebelumnya meluangkan banyak waktu secara tepat, struktur-struktur dan kualitas manusia yang di dalmnya gambar Allah berdiam, menurut Karl Barth mereka semua melakukan kesalahan dengan mencarinya di sana. Fakta bahwa kita diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan menunjukkan bahwa Allah memberikan karunia kepada manusia yang dengannya laku-laki dan perempuan mempunyai kemungkinan untuk mengalamai perjumpaan. Maka hubungan perjumpaan ini sebagai gambar Allah karena hubungan perjumpaan yang sama juga terjadi di antara Allah dan manusia.[2] Allah merupakan keberadaan yang menjumpai kita dan masuk ke dalam hubungan aku-kamu dengan kita. Bahwa manusia diciptakan dengan kapasitas untuk memiliki hubungan yang serupa dengan sesamanya, menunjukkan bahwa ia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Dalam keseluruhan pandangan Barth kita perlu mengkritiknya karena mereproduksi data Alkitab secara tidak memadai, ia mengatakan bahwa gambar Allah murni bersifat relasional dan oleh karenanya murni bersifat berformal: kapasitas untuk berjumpa dan bertemu.
Dari antara penulis neo-ortodoks, konsep Brunner agak mirip dengan pandangan Katolik. Brunner berpendapat, ada gambar yang resmi yang tak dapat hilang pada waktu kejatuhan Adam, karena gambar menjadikan manusia sebagai manusia. Brunner juga melihat sebuah gambar yang bersifat materi yang telah hilang pada waktu kejatuhan. Brunner mengatakan bahwa gambar Allah pertama-tama terletak dalam hubungan manusia dengan Allah, tanggungjawabnya kapada Allah dan kemungkinan adanya persekutuan dengan Allah. Pemahamannya adalah: “Allah yang berkehendak untuk memuliakan diriNya sendiri, menghendaki manusia menjadi makhluk yang menaggapi panggilan kasihNya dengan tanggapan kasih yang penuh syukur.[3]

2.3. Pandangan Rasionalis
Menurut pandangan Socinian dan sebagian Arminian, mula-mula gambar dan rupa Allah berada dalam kuasa manusia atas makhluk yang lebih rendah saja dan tidak lebih. Anababtis berpendapat bahwa manusia pertama sebagi manusia duniawi yang terbatas belumlah merupakan gambar dan rupa Allah tetapi hanya dapat menjadi demikian melalui kelahran kembali. Pelagian, sebagian besar Armenian, dan seluruh kaum rasional dengan berbagai variasinya menganggap gambar dan rupa Allah hanya berada dalam kepribadian bebas manusia, dalam karakter rasionalnya, dalam disposisi etika-religius dan nasibnya untuk hidup dalam persekutuan dengan Allah. Semua penganut rasionalis percaya bahwa kebenaran yang diciptakan bersamaan dan kesucian saling berkontradiksi.
Manusia menentukan karakternya melalui pemilihan bebasnya sendiri; sedangkan kesucian hanya dapat dihasilkan dari suatu kemenangan atas pergumulan melawan kejahatan. Jadi berdasarkan keadaan naturenya Adam tentunya tidak mungkin diciptakan dala keadaan suci,  dan manusia diciptakan sebagai makhluk yang dapat mati. Dengan mengikuti ajaran Aristoteles, beberapa teolog mengidentifikasi bahwa kemampuan manusia untuk berpikir dan berargumentasi adalah cerminan penting dari gambar Allah. Martin Luther melihat hal ini hanya sebagai variasi atas apa yang telah ia katakan tentang otonom pribadi. Teolog liberal menekankan bahwa, karena manusia merupakan makhluk yang diciptakan menurut gambar Allah, berarti hidup manusia itu suci sehingga kita bisa melakukan apa yang harus dilakukan di bumi dan untuk bumi. Para teolog itu menganggapnya sebagai konsep "hubungan". Dengan kata lain, karena seseorang memiliki kapasitas untuk mengasihi orang lain, maka ia pasti memiliki gambar Allah dalam dirinya. Walaupun hal ini sangat benar, Martin Luther menganggap argumentasi seperti ini kurang kuat isinya, karena menurutnya "Imago Dei" melukiskan lebih dari sekadar apakah seseorang mengasihi sesamanya atau tidak!




BAB III
PENGERTIAN GAMBAR DAN RUPA ALLAH MENURUT ALKITAB

Keistimewaan manusia terhadap ciptaan lainnya meliputi segala aspek, baik akal budi, perasaan, pikiran, pertimbangan, fisik, termasuk esensi manusia itu sendiri, yakni sebagai gambar dan rupa Allah. Pernyataan ini memberi pengertian bahwa manusia itu berhubungan erat dengan Allah sendiri. Sebagaimana kita tahu bahwa penyataan ini membuat banyak orang berusaha melakukan pendekatan-pendekatan untuk mencapai pengertian yang sempurna dan dapat diterima oleh orang lain. Dampaknya adalah lahir tafsiran-tafsiran yang kurang bahkan tidak Alkitabiah. Sekarang mari kita lihat Alkitab berbicara tentang manusia sebagai gambar dan rupa Allah.
3.1. Etimologi Gambar dan Rupa Allah
Ketika Allah menciptakan ciptaan lainnya, Allah menciptakannya menurut jenisnnya artinya setiap jenis berasal dari jenisnya. Penciptaan ini jelas berbeda dengan penciptaan manusia, yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.
Tselem
Kata gambar adalah tselem (Ibrani), image (Inggris), dan morphe (Yunani), yang berarti gambar yang dihias, suatu bentuk/figure yang representatif. Arti suatu gambar memiliki bentuk atau pola tertentu. Hal ini bisa mengakibatkan kita cenderung berpikir ada bentuk fisik Allah. Istilah tselem memang lebih mudah dimengerti dengan bentuk materi-materi.
Demuth
Sedangkan kata rupa adalah demuth (Ibrani), likeness (Inggris), schema (Yunani) yang mengacu pada arti kesamaan tapi lebih bersifat abstrak atau ideal -   Dalam PB, kata yang mirip untuk itu adalah eikon dan homoiosis.  Pengertiannya mirip dengan bentuk, dalam arti sesuatu yang modelnya harus seperti bentuk yang pertama. Berarti hidup ini harus sesuai dengan bentuk ukuran standart.
Kata gambar dan rupa dipakai secara bersinonim dan dipakai saling bergantian dan dengan demikian tidak mununjukkan dua hal yang berbeda. Kata “gambar” tidak mengacu pada suatu kesanggupan dalam diri manusia, melainkan pada kenyataan bahwa Allah menciptakan manusia sebagai rekanNya dan bahwa manusia dapat hidup bersama dengan Allah. Ini menentang penafsir yang terpusat pada kebolehan manusia, yaitu sesuatu di dalam diri manusia yang menurut penafsirnya dapat disamakan dengan gambar dan rupa Allah. Jadi, gambar Allah buka sesuatu yang dimiliki manusia atau sesuatu kemampuan untuk menjadi melainkan suatu hubungan Allah dengan manusia sebagai mitra kerja atau wakil Allah di bumi.

3.2. Manusia Sebagai Gambar dan Rupa Allah Pra-Dosa
Kita mencari sebuah identitas di dalam lubuk hati kita yang dalam. Setiap kita dibentuk dengan keinginan untuk mengetahui siapakah kita, yang sering dinyatakan sebagai “menemukan diri sendiri.” Orang-orang Kristen menemukan jawabannya di dalam dua kitab pertama dari Alkitab -  kita mirip dengan Allah karena kita diciptakan oleh Dia. Kita berbeda dengan segala sesuatu yang lain yang diciptakan Allah, karena kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Diciptakan menurut gambar dan rupa Allah berbeda daripada yang lainnya di seluruh alam semesta, bahkan malaikat pun tidak sunik kita. Para teolog memperdebatkan makna sesungguhnya  dari menjadi gambar dan rupa Allah, memiliki dan menunjukkan sebagian sifat-sifat Allah. Allah menggunakan diriNya sendiri sebagai pola pada saat menciptakan kita. Manusia adalah puncak karya terindah dari kreativitas seni Allah.
Kebanyakan teolog percaya bahwa gambar Allah menrupakan gabungan dari cirri-ciri khas dan bukan sebuah sifat tunggal. Karena berbagai cirri khas tersebut adalah sungguh-sungguh gambar Allah, maka cirri-ciri tersebut juga menggambarkan Allah. Gambar tersebut ditemukan di dalam hakikat kerohanian kita, kepribadian kita dengan kesadaran diri, akal budi, kehendak dan pertanggungjawaban moral kita. Seperti ditunjukkan pada Kejadian 1, kita juga menerapkan kukuasaan atau otoritas terhadapa seluruh ciptaaan lainnya sebagai hasil dari gambar Allah yang berkuasa.


3.3. Manusia Sebagai Gambar dan Rupa Allah Pasca- Dosa
Kita masih bisa belajar lebih lagi tentang manusia adalah gambar dan rupa Allah. Tidak secara kebetulan, gambar Allah adalah "sangat penting" untuk memperbaiki pribadi. Inilah yang memberikan diri manusia sebuah otonomi -- keberadaan yang terpisah. Martin Luther percaya bahwa diciptakan dalam rupa Allah berarti memiliki "kebebasan untuk memilih untuk taat" pada kehendak Allah. Sebaliknya, umat manusia telah menyalahgunakan kebebasan ini. Demikianlah dosa dan kejatuhan manusia masuk ke dalam gambar ini.
Apakah kejatuhan manusia melepaskan rupa Allah dari kita? Hal itu bisa terjadi, tapi orang lain tidak percaya. Menurut Martin Luther, dosa telah menyelubungi atau "menutup" gambar ini. Tidak peduli betapa besar kenajisan karena dosa, kita tidak akan kehilangan gambar ini. Proses regenerasi atau kelahiran baru mengembalikan gambar tersebut ke tempat yang tepat dalam inti suatu pribadi. Mungkin ini hanyalah masalah semantik, tapi gambar ini memberikan pengertian yang lebih jelas tentang "Imago Dei" daripada pemikiran tentang kejatuhan manusia yang sama sekali tidak ada dalam gambar ini.
Gambar Allah di dalam kita yang sekarang ini bukanlah gambar yang dahulu ada pada saat penciptaan. Gambar ini telah dirusak dan terdistorsi oleh kejatuhan; tetapi tidak hilang atau hilang sama sekali. Kejatuhan memang berdampak kehancuran total umat manusia (Kej. 3:1-19; Rm. 3:23). Ini tidak berarti kita boleh berbuat sejahat-jahatnya yang kita inginkan, tetapi bahwa setiap aspek keberadaan kita telah dipengaruhi oleh kejatuhan itu. Disa telah merusak setiap bagian manusia termasuk gambar Allah tersebut. Bagaimanapun, Allah membalik kerusakan itu. Tujuan dan proses penebusanNya adalah untuk membarui gambarNya di dalam diri manusia menuju refleksi aslinya. Seetelah keselamatan, kita bertumbuh secara rohani menjadi lebih menyerupai Kristus. Karena Kristus adalah Allah, ia sama persis dengan Allah. Ketika kita lebih menyerupaiNya, Allah mengembalikan gambarNya di dalam kita seperti maksudNya yang semula.
Allah merancang dan menciptakan umat manusia supaya Ia dapat menikmati suatu hubungan dengna kita. Tujuan manusia, oleh sebab itu berpusat pada isu memiliki atau tidak memiliki hubungan dengan sang Pencipta. Kita tidak pernah mengetahui siapakah kita sampai kita berelasi dengna sang tunggal, yang menciptakan kita sesuai dengan gambarNya. Ketika kita mengenalNya, kita dapat mengenali diri kita sendiri. Kemudian, kita dapat hidup seperti yang dikehendakiNya dan menikmati Allah serta kebaikan-kebaikanNya.





BAB IV
PENUTUP
4.1. Simpulan
Dari penjelasan diatas maka kita ketahui bahwa penyataan gambar dan rupa memiliki arti yang sama, yaitu menjelaskan keunikan, keunggulan manusia yang bernilai sangat tinggi dari pada ciptaan yang lain. Setidaknya kita mendapat beberapa poin tentang pengertian gambar dan rupa Allah.
·         Sebagai gambar dan rupa Allah membedakan manusia - yang diciptakan mengacu pada pencipta – dengan ciptaan lain yang diciptakan mengacu pada ciptaan.
·         Sebagai gambar dan rupa Allah manusia mewari sifat-sifat Allah. Sifat Allah dalam hal ini tentu tidak mutlak, sebab jika tidak demikian maka akan muncul pendapat bahwa Allah sama dengan manusia. Dan perlu juga kita ketahui bahwa ketika manusia memilih tidak taat da jatuh dalam dosa, itu bukanlah sifat yang diwarisinya dari Allah, melainkan pilihannya sendiri atas dasar kemauan dari dalam dirinya dengan freewill yang ia miliki.
·         Sebagai gambar dan rupa Allah manusia mampu menjalin relasi yang intim dengan Allah.
·         Sebagai gambar dan rupa Allah, maka Allah telah menetapkan manusia sebagai wakilNya yang berkuasa atas ciptaan lain (Kej. 1:28)
·         Sebagai gambar dan rupa Allah, manusia diberi kemampuan untuk bersekutu dengan sesamanya, sebagaimana persekutuan Allah.

4.2. Saran
            Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan paper ini,  untuk itu diharapkan saran-saran dari pembaca supaya tulisan ini dapat dikembangkan lebih lanjut lagi untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik. Lewat paper sederhana ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kita tingginya nilai kita dihadapan Tuhan sebagai gambar dan rupaNya, asal kita mau mempertahankan hidup dalam kesucian.
DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, David. Kejadian 1-11. 2000. Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF. Jakarta.
Berkhof, Louis. Teologi Sistematika. 2009. Momentum. Surabya.
Cornish, Rick. 2007. 5 menit Teologi. Pronir Jaya. Bandung
Enns, Paul. 2003. The Moody Handbook of Theology 1. Literatur SAAT. Malang.
Nee, Watchman. 2000. Kudus dan Tidak Bercela. Yayasan Perpustakaan Injil Indonesia. Surabaya.
Rirye, Charles C. Teologi Dasar 1. 2008. ANDI Offset. Yogyakarta.
Thiessen, Henry C. 2003. Teologi Sistematika. Gandum Mas. Malang.
Tong, Stephen. 2007. Peta dan Teladan Allah. Lembaga Reformed Injili Indonesia. Jakarta.



[1] Karl Barth. Church Dogmatic, III/2 (Edinburgh: 1960) hal. 76
[2] Anthony A. Hoekema. 2008. Manusia: Ciptaan menurut gambar Allah. Momentum. Surabaya. 65
[3] Ibid. 69

Tidak ada komentar:

Posting Komentar