Minggu, 12 Januari 2014

BAHASA ROH: SUATU TINJAUAN TEOLOGIS TERHADAP PENGGUNAAN KARUNIA ROH DI DALAM IBADAH

Latar Belakang
Iman Kristen percaya akan Allah Tritunggal yaitu Allah yang berhakekat tunggal namun berpribadikan tiga.  Roh Kudus kerap kali disebutkan sebagai pribadi ketiga dalam kesatuan tersebut. Seperti yang dinyatakan oleh Arius bahwa Roh Kudus ternyata hanyalah pribadi yang diciptakan oleh Kristus sebab segala sesuatu dijadikan oleh Dia.[1] Namun, penyebutan itu tidaklah bermaksud untuk menyatakan bahwa Roh Kudus adalah pribadi paling rendah di antara ketiganya. Sebaliknya ketiga pribadi ini adalah satu tanpa keterpisahan eksistensi, secara komplet bersatu membentuk satu Allah. Natur Ilahi hidup dalam tiga perbedaan Bapa, Anak dan Roh Kudus.[2]
Roh Kudus Dalam karya-Nya mengerjakan beberapa perkara yang baru, khususnya sejak kedatangan-Nya pada hari Pentakosta. Ia mendiami orang-orang percaya, memateraikan mereka sebagai milik Allah. Paulus menuliskan dalam 1 Kor. 12:3 bahwa mereka yang mengaku Yesus Kristus sebagai Tuhan hanyalah mereka yang didiami oleh Roh Kudus. Tanpa Roh Kudus tak seorangpun dapat menyatakn hal itu. Ini berarti bahwa peranan Roh Kudus sangat mempengaruhi kehidupan umat Tuhan sejak mereka percaya dan selama perjalanan kehidupan mereka. Semua orang yang percaya kepada Kristus mendapat anugerah dari Allah yang kita kenal dengan karunia rohani. Karunia rohani dalam diri orang percaya adalah perlengkapan dari Allah bagi pelayanan rohani secara individu (1Kor. 12:11), sekaligus bagi pendidikan dan pendewasaan gereja (Ef. 4:11-13).
Paulus menuliskan bahwa ada rupa-rupa karunia dari satu sumber yaitu Roh Allah. Dan salah satu karunia yang paling kontroversial khususnya dalam gereja-gereja adalah karunia bahasa Roh. Persoalan yang utama mengenai hal ini berkaitan dengan sifat dan tujuan karunia tersebut, ditambah lagi sikap beberapa orang Kristen yang mengeksklusifkan karunia tersebut di antara karunia-karunia Roh yang lain.[3] Umat Kristen sampai saat ini masih banyak dibingungkan dengan ajaran dari para pemimpin gereja yang mengharuskan mereka untuk berbahasa roh dalam ibadah ibadah-ibadah sebagai bukti bahwa mereka telah dipenuhi oleh Roh Kudus. Seperti yang ungkapakan oleh Roberts Liardon dalam bukunya yang berjudul “Sekolah Roh Kudus” bahwa baptisan Roh Kudus selalu dibuktikan dengan berkata-kata dalam bahasa roh.[4] Kenyataan ini juga yang menjadi pengalaman penulis secara pribadi ketika masih berada dalam penggembalaan dalam gereja di kampung halaman penulis.
Pemahaman yang mengeksklusifkan karunia bahasa roh didasari oleh peristiwa yang terjadi dalam kitab Kisah Para Rasul. Argumentasinya bertolak dari pengamatan bahwa sesudah pertobatan dan kelahiran kembali yang dicatat dalam Kisah Para Rasul, terjadi suatu kepenuhan yang khusus atau baptisan Roh Kudus yang pada umumnya dimanifestasikan dengan berkata-kata dalam bahasa yang tidak dikenal. Pengalaman pun turut ambil bagian dalam mendukung argumentasi karunia ‘glosalia’ ini.[5]
Kabar yang lebih mengejutkan kita adalah bahwa bahasa roh yang dikenal dengan bahasa lidah itu menyerupai fenomena-fenomena yang ditemukan di agama-agama lain. Salah satu contohnya adalah praktik tukang sihir di Hindia Barat, kemudian dari sabda dewa di Delfi, sebuah tempat yang tidak jauh dari Korintus, terdapat kasus-kasus kesurupan yang tidak jauh berbeda dengan glosalia yang ditemukan di gereja Korintus.[6]
Beragam komentar sudah banyak terlontar dari banyak orang – baik mereka yang pernah berkata-kata dalam bahasa roh atau mereka yang belum pernah maupun dari mereka yang belum pernah namun sering mendengarnya. Mereka yang memiliki pengalaman ini ingin sekali mengerti apa arti yang pernah mereka ucapkan itu, sementara mereka yang pernah mendengar orang lain berdoa dalam bahasa mengeluhkan, “mengapa mereka yang memiliki selalu terdengar berdoa dalam bahasa roh itu tidak mengalami keubahan hidup? Sikap hidupnya masih saja seperti orang dunia, benar-benar Roh Kudus kah yang bekerja di dalam dia?



Perbincangan sengit mengenai bahasa Roh yang telah menimbulkan perpecahan diantara umat Kristen itu juga dilatarbelakangi oleh tafsiran yang beragam terhadap perintah Alkitab yang mengajarkan kita untuk berdoa dalam Roh. Roberts Liardon menyatakan bahwa berdoa di dalam Roh itu berarti kita berdoa dalam bahasa roh.[7] Atau apakah kita sepakat dengan Kenneth memahami berdoa dalam bahasa roh berarti kita berdoa tanpa akal budi, tanpa penanggapan pancaindera?[8] Para ahli tentu menggunakan ayat-ayat Alkitab sebagai landasan argumen mereka, namun benarkah yang Alkitab maksudkan memang seperti itu?
Kenyataan-kenyataan ini telah sampai kepada jemaat dan tak dapat kita pungkiri bahwa banyak gereja-gereja telah menjadikan bahasa roh sebagai sesuatu yang harus ada dalam ibadah gereja. Akibatnya banyak jemaat yang berjuang ‘mati-matian’ untuk mendapatkan karunia bahasa roh. Ini jelas bertentangan dengan prinsip Alkitab yang menyatakan bahwa bahasa roh adalah karunia, artinya pemberian dari Allah kepada siapa Allah berkenan memberikannya. Beberapa di antara mereka (jemaat) yang tidak memiliki karunia bahasa roh ini juga menjadi ‘minder’ karena merasa tertuduh belum dibaptiskan oleh Roh Kudus.
Menyadari begitu pentingnya pemahaman umat Tuhan tentang bahasa roh khususnya dalam penggunaannya dalam setiap pertemuan ibadah, maka penulis dalam makalah ini akan memaparkan secara sederhana berkaitan dengan hal tersebut. Apa pengertian bahasa roh, bagaiman sifatnya, tujuannya dan penerapan praktisnya dalam ibadah. Semuanya ini akan dibahas dalam bab-bab selanjutnya.


Karunia Roh Kudus
Dalam ajaran Yesus kita menemukan penekanan yang kuat terhadap peranan Roh Kudus dalam memprakarsai kehidupan Kristen di dalam diri seseorang. Yesus mengajarkan bahwa aktivitas Roh Kudus itu perlu sekali esensial baik dalam pertobatan, dan pembaruan yang merupakan awal kehidupan Kristen. Ada begitu banyak Karya Roh Kudus dalam diri seorang percaya terutama sejak orang itu percaya kepada Kristus. Yohanes menuliskan secara lengkap karya-karya Roh Kudus yang berperan penting dalam kehidupan orang percaya. Roh Kudus memberi kuasaa (Yoh. 14:12), Roh Kudus berdiam dan menerangi orang percaya (Yoh. 14:16-17), Roh Kudus berperan sebagai guru (Yoh. 14:26), Roh itu berdoa untuk kita (Rm. 8:26-27), Roh Kudus yang mengerjakan penyucian dalam kehidupan orang percaya dan Roh Kudus memberi orang percaya karunia-karunia khusus.
Dalam surat-surat Paulus ada tiga daftar yang berbeda dari karunia-karunia dan ada juga daftar singkat tentang itu dalam surat 1Petrus. Beberapa hal perlu dikemukakakan mengenai karunia-karunia itu: Pertama, sekalipun semuanya merujuk kepada karunia-karunia Roh Kudus, namun dasar orientasinya berbeda. Efesus 4:11 sesungguhnya merupakan daftar berbagai jabatan dalam gereja atau orang-orang yang dapat dikatakan beroleh anugerah dari Allah. Apa yang tertulis dalam Roma 12:6-8 dan 1Petrus 4:11 merupakan berbagai fungsi dasar yang harus ada dalam gereja. Sedangkan apa yang terdapat dalam 1Korintus menunjuk pada kemampuan pribadi yang istimewa. Kedua, tidak pernah dijelaskan bahwa karunia-karunia yang kita terima sebagai orang percaya adalah anugerah yang kita peroleh sejak lahir atau kemampuan yang diperoleh kemudian atau malah perpaduan antar keduanya. Teologi sistematika pada umumnya menyatakan bahwa karunia-karunia Roh Kudus itu kita terima sejak kita percaya kepada Kristus. Peter Wagner dalam bukunya “Manfaat Karunia Roh”, menguraikan ada dua puluh tujuh karunia roh  di dalam Perjanjian Baru:[9]


Karunia Bahasa Roh
Praktek bahasa roh sudah ada sejak jaman para Rasul  yaitu sejak peristiwa Pentakosta yang tercatat di dalam Kisah Para Rasul 2. Dalam peristiwa ini para Rasul berkata-kata dalam berbagai bahasa, dan orang banyak dari berbagai rumpun bangsa terheran-heran karena mereka mendengar perkataan para Rasul dalam bahasa asal mereka. Dalam dua peristiwa berikutnya karunia bahasa roh juga terjadi pada orang-orang percaya yang bukan keturunan Yahudi, yaitu peristiwa yang terjadi di Kaisarea, di rumah seorang perwira pasukan Italia bernama Kornelius dalam Kisah Para Rasul 10 dan peristiwa yang terjadi di Efesus dalam Kisah Para Rasul 19. Pengalaman berbahasa roh yang terdapat di dalam kitab Kisah Para Rasul inilah yang menjadi dasar munculnya gerakan yang mengutamakan Roh Kudus yang saat ini dikenal dengan aliran Pentakosta dan kemudian Kharismatik. Kelompok ini meyakini bahwa bahasa roh sebagai sesuatu yang mutlak harus dimiliki oleh seseorang yang telah mengalami baptisan Roh Kudus.
Dalam perkembangannya, semangat kelompok Pentakosta dan Kharismatik semakin banyak menarik petobat-petobat baru dan orang-orang Kristen yang haus dan lapar akan kebenaran. Perkembangan kelompok ini menjadikan karunia bahasa roh menjadi karunia yang paling kontroversial diantara semua karunia roh yang ada, bahkan berdampak menimbulkan perdebatan dan perpecahan. Alkitab mencatat bahwa pada jaman para Rasul fenomena bahasa roh ini juga pernah menjadi perdebatan ditengah-tengah jemaat Korintus, penyebabnya adalah sikap yang meninggikan karunia berkata-kata dengan bahasa roh sedemikian rupa sehingga karunia-karunia roh lainnya dan orang-orang yang tidak memiliki karunia bahasa roh diremehkan. Hidup mereka yang mengutamakan karunia bahasa roh namun tidak disertai dengan kehidupan rohani yang benar telah mendorong Paulus melalui suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus ini untuk mengajar mereka tentang bahasa roh dan aplikasinya ditengah-tengah jemaat. Untuk menghindari perpecahan seperti yang terjadi di Korintus ini, tentu saja pengajaran mengenai bahasa roh yang dikemukakan Rasul Paulus di atas juga perlu untuk dimengerti dan diaplikasikan ditengah-tengah jemaat pada masa kini.


Defenisi
Bahasa roh adalah salah satu karunia yang diberikan Roh Kudus kepada gereja. Kata bahasa roh itu sendiri tercatat 24 kali dalam Alkitab. Secara etimologi bahasa roh berasal dari kata Yunani γλῶσσα (glossa), yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan ‘tongue’ (lidah) berarti bahasa lidah. Ini merupakan gabungan dari kata glôssa yang berarti lidah, organ tubuh yang digunakan untuk berbicara, dan kata kerja laleô yang berarti berbicara, berkata, mengeluarkan suara dari mulut.[10]
Istilah ‘bahasa lidah’, ‘bahasa asing’, ‘bahasa roh’, dalam Perjanjian Baru menggunakan kata yang sama yaitu 'γλωσσα - glôssa', "lidah". Markus 16:17 menulis 'γλωσσαις λαλησουσιν καιναις ; glôssais lalêsousin kainais', "berbicara dengan lidah yang 'baru'"; Kisah Para Rasul 2:4 menulis 'lalein heterais glôssais', "berbicara dengan lidah yang 'lain'. Mulai Kisah Para Rasul 10:45 dan seterusnya tidak ada lagi kata 'heterôs' (yang lain) maupun 'kainos' (yang baru), melainkan kata kerja λαλεω - laleô, "berbicara" dan 'γλωσσα - glôssa', "lidah". Jadi, baik dalam Kisah Para Rasul maupun surat Korintus menggunakan kata dan ungkapan yang sama yang dewasa ini dikenal dengan 'γλωσσολαλια - glôssolalia'.
Baik bahasa "lidah" atau karunia "lidah" dengan bahasa "roh" itu sama saja. Kedua-duanya diterjemahkan dari kata Yunani ‘glôssa’. Istilah bahasa lidah atau karunia lidah akrab bagi kalangan ‘tempoe doeloe’ yang akrab dengan Alkitab Terjemahan Lama, yaitu sebelum tahun 1974. Karunia roh dalam Kisah Para Rasul (dimengerti oleh orang lain) dan surat kiriman Paulus (tidak dimengerti oleh orang lain) menggunakan kata yang sama yaitu ‘glôssa’.
Dokter Lukas mencatat dalam KPR 2:4, tatkala murid-murid yang telah berkumpul dipenuhi dengan Roh Kudus pada hari Pentakosta, mulailah mereka ‘berkata kedalam bahasa-bahasa (glôssai) lain’ seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk dikatakan. Sehingga banyak orang Yahudi dari luar Palestina tercengang mendengar puji-pujian bagi Allah yang dalam bahasa (glôssa, Kisah 2:11) dan dialek-dialek (dialektos, Kisah 2: 6-8) yang dipakai di negeri mereka sendiri. Walaupun umum diterima bahwa Lukas melaporkan murid-murid itu berbicara dengan bahasa-bahasa asing, namun keterangan ini tidak diterima oleh seluruh orang. Sejak dari zaman bapa-bapa Gereja, ada yang menafsirkan ayat 8 itu sebagai mujizat pendengaran, yang dikerjakan dalam diri pendengar-pendengar. Yang dimaksud dengan bahasa lidah disini adalah bahasa lidah yang "benar-benar" merupakan karunia Roh Kudus, bukan bahasa lidah yang dibuat-buat, dipelajari, atau ditiru.


Ibadah Kristen
Gereja-gereja pada umumnya memiliki cara tersendiri dalam menyusun liturgi ibadah mereka, setiap liturgi menjadi gaya yang khas bagi gereja tersebut. Yesus memberikan prinsip berkaitan dengan ibadah yang khususnya mengenai penyembahan, “Allah itu Roh, dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran (Yoh. 4:24). Komentar Warren mengenai ini ialah bahwa Allah tidak merasa terganggu atau merasa tidak senang oleh bermacam-macam gaya penyembahan yang ada selama ibadah itu dilakukan ‘dalam roh’ dan ‘dalam kebenaran.’ Ia manambahkan bahwa Allah justru malah menyukai keanekaragaman itu sebab menurut hematnya Allah mempunyai gagasan untuk menjadikan kita semua berbeda.[11]
Gaya ibadah yang kita senangi biasanya mengungkapkan lebih banyak mengenai latar belakang kebudayaan mkita daripada mengenai teologi kita. Tiap-tiap gereja mengklaim bahwa gaya ibadah merekalah yang paling Alkitabiah.Seluruh orang beriman membentuk suatu umat Allah yang profetik. Ibadah yang sejati tercermin dalam sikap serta tindakan-tindakan seseorang. Hidup bukan untuk dikotak-kotakkan menjadi hidup yang sakral dan hidup yang sekular. Kita datang beribadah untuk menyembah serta memperbaharui kekuatan kita seupaya kita bisa menyentuh sesama.
Kepada jemaat Roma, Paulus mengungkapkan suatu ibadah yang sejati, adalah ibadah yang mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup, berkenan kepada Allah dan yang sempurna (Rm. 12:1). Sebelas pasal pertama kita Roma merinci tentang kasih karunia Allah kepada umat-Nya. Dalam ps 12:1, kata “karena itu” mengacu kepada semua kasih karunia Allah itu yang kita terima sebagai sesuatu yang isitimewa.
Tanggung jawab kita adalah hidup menjadi persembahan yang hidup bagi Tuhan. Ketika kita memiliki sudut pandang semacam ini maka kita akan melihat Tuhan memanifestasikan suatu karunia melalui kita kapanpun dan dalam keadaan apapun.


Penggunaan Bahasa Roh Dalam Ibadah
Beberapa orang berpendapat bahwa karunia terutama dinyatakan dalam ibadah kebaktian di gereja. Namun, orang tidak dapat memisahkan karunia-karunia dalam ibadah kebaktian gereja dari karunia-karunia dalam misi atau penginjilan. Konteks rupa-rupa karunia dalam 1Korintus jelas dalam gereja. Dalam konteks 1Korintus 14:26-40 rasul Paulus menyebutkan paling tidak tiga karunia roh, yaitu berbahasa roh, menafsirkan bahasa roh itu dan bernubuat. Tetapi karunia untuk bernubuat mewakili semua karunia lisan yang terurapi dengan bahasa yang dipahami oleh jemaat.[12] Semua karunia ini dapat segera diuji, dianjurkan, dan dikonfirmasikan. Paulus mengatakan, “Sebab kamu semua boleh bernubuat seorang demi seorang, sehingga kamu semua dapat belajar dan beroleh kekuatan... Usahakanlah dirimu untuk memperoleh karunia untuk bernubuat.” (1Korintus 14:31, 39). Dengan memahami prinsip-prinsip Paulus mengenai berbagai karunia untuk bernubuat kita dapat lebih mengenal seluruh alam karunia.[13]



Eksposisi 1Korintus 14:26-40
Bagian kitab ini menunjukkan adanya pastrisipasi seluruh jemaat. Paulus memakai kata “semua” (pantos) sebanyak tiga kali yang mengacu pada seluruh jemaat (14:31). Dasar dari karunia-karunia tersebut mencerminkan sifat-sifat yang sesungguhnya (14:33). Jadi tujuan-tujuan akhirnya adalah membangun jemaat (14:26) serta saling mengajar dan saling memberi kekuatan (14:31). Kita juga dapat melihat mengenai penjelasan waktu penggunaan yang tepat dan tempat yang pantas (14:27).
Kata “has” diulang di depan setipa karunia dalam bahasa Yunani untuk menekankan bahwa setiap orang berpotensi menyumbang. Sehingga banyak orang dapat ikut berbagi dalam kebaktian tersebut, tidak ada satu karunia punlebih unggul daripada karunia-karunia lainnya. Jadi fokusnya yaitu sesuatu yang sedang diperbuat Allah bukannya sesuatu yang sedang dilakukan oleh manusia. Karunia untuk berbahasa roh tidak mendominasi seluruh kebaktian, agar beragam karunia digunakan untuk melayani juga.
Untuk memahami bagaimana menggunakan karunia bahasa roh seperti yang dimaksudkan rasul Paulus dalam 1 Korintus 14:26-40 maka mari kita terlebih dulu memahami konsep Paulus sendiri mengenai bahasa roh itu: Paulus menunjuk kepada pengalaman pribadinya, kepada penggunaan bahasa roh secara pribadi (1 Kor. 14:15). "Aku berdoa dengan rohku" berarti berdoa dengan bahasa roh, dengan menggunakan rohnya sendiri oleh dorongan Roh Kudus. Roh orang percaya berdoa sementara Roh Kudus memberikan apa yang harus dikatakannya. Di sini Paulus membicarakan tentang penggunaan bahasa roh secara pribadi yang ditujukan kepada Allah. Paulus menggunakan bahasa roh tidak hanya untuk berdoa, tetapi juga untuk menyanyi, memuji, dan mengucapkan syukur kepada Allah.
"Berdoa dengan akal budiku" berarti berdoa dan memuji dengan akal budinya sendiri dalam bahasa yang telah dipelajarinya, juga oleh dorongan Roh Kudus. Bagi Paulus, penggunaan utama bahasa roh, baik dalam jemaat maupun secara pribadi, adalah terutama untuk berbicara kepada Allah dan bukan kepada manusia (1 Kor. 14:2). Ketika bahasa roh ditujukan kepada Allah, maka pembicara itu sedang berhubungan dengan Allah oleh Roh Kudus dalam bentuk doa, pujian, nyanyian, ucapan berkat, dan ucapan syukur. Yang diucapkan itu adalah "hal-hal yang rahasia", yaitu hal-hal yang tidak dapat dipahami oleh pembicara itu dan oleh para pendengar. Penafsiran ucapan dalam bahasa roh itu mengizinkan jemaat untuk masuk ke dalam manifestasi dari penyembahan yang dipimpin Roh sehingga mereka dapat berkata "Amin" kepada doa atau pujian yang diilhami Roh.
Bahasa roh adalah salah satu karunia roh yang dapat kita temui di dalam pertemuan kebaktian jemaat. Dan rasul Paulus menjelaskan semacam ketetapan-ketetapan terkait penggunaan bahasa roh tersebut. Jika ada yang berkata-kata dengan bahasa roh, biarlah dua atau sebanyak-banyaknya tiga orang, seorang demi seorang, dan harus ada seorang lain untuk menafsirkannya. Jika tidak ada orang yang dapat menafsirkannya, hendaklah mereka berdiam diri dalam pertemuan Jemaat dan hanya boleh berkata-kata kepada dirinya sendiri dan kepada Allah. (1 Korintus 14:26-27).
Ada satu hal yang harus menjadi catatan penting bagi kita, bahwa bahasa roh tidak ditujukan kepada orang lain, karena bahasa roh adalah bahasa yang tidak dimengerti, kecuali jika ada yang menafsirkannya atau bahasa rohnya adalah jenis bahasa roh yang menyerupai bahasa yang dikenal di bumi. Jadi kita harus berhati-hati dalam menggunakan bahasa roh dalam pertemuan jemaat atau dalam ibadah, kecuali memang motivasi kita melakukannya adalah dalam doa dan penyembahan kepada Allah. 
Masalah dalam jemaat di Korintus adalah mereka terlalu menonjolkan karunia ini dengan berkata-kata satu dengan yang lainnya dengan bahasa roh, padahal arti bahasa roh tersebut tidak dimengerti. Mereka berlomba-lomba dalam berbahasa roh, makanya Rasul Paulus mengatakan biarlah dua atau tiga orang saja yang berkata-kata dengan bahasa roh, bergantian dan itupun jika ada orang yang memiliki karunia menafsirkan bahasa roh. Jika tidak ada, Rasul Paulus mengatakan lebih baik bahasa roh itu tidak digunakan untuk orang lain dan hanya boleh ditujukan kepada Allah dan dirinya sendiri.  
Rasul Paulus mengatakan jangan melarang penggunaan bahasa roh dalam ibadah, hanya harus dilakukan dengan sopan dan teratur  (1 Kor 14:39), makanya kita harus berhati-hati dalam penggunaan bahasa roh tersebut. Tetapi jangan sampai karunia tersebut tidak digunakan, karena dengan begitu fungsi yang luarbiasa dari  berbahasa roh, jadi tidak dapat kita manfaatkan.  Di ahkir tulisannya pada bagian ini, Paulus mengatakan bahwa “segala sesuatu harus berlangsung dengan sopan dan teratur.” Ini memberitahukan bahwa bahasa roh dalam jemaat sah-sah saja namun tetap harus teratur sebagaimana Roh Kudus adalah Roh yang mendatangkan kedamaian.


BAHASA ROH MENURUT 1KORINTUS 14
Paulus menyampaikan kepada jemaat di Korintus sebuah pengajaran tentang penggunaan karunia bahasa roh. Pengajaran ini tentu juga berlaku buat gereja masa kini. Pengajaran tentang penggunaan bahasa roh menurut pasal ini adalah sebagai berikut :
A.    Dalam setiap penggunaan karunia-karunia roh, harus dilandasi oleh kasih (ayat 1) Ayat pertama dalam pasal 14 ini Paulus mengingatkan pentingnya Kasih sebagaimana yang dijelaskannya dalam pasal 13 bahwa tanpa adanya kasih maka semua karunia roh termasuk karunia bahasa roh tentu akan sia-sia.
B.     Berbahasa roh ditengah-tengah jemaat hanya dianjurkan jika ada yang dapat menafsirkannya.
§  Tanpa penafsiran, maka karunia bahasa roh hanya digunakan secara pribadi untuk berkomunikasi dengan Allah, melalui doa, pujian  dan ucapan syukur (ayat 2,  13-17, 27-28).
§  Tanpa penafsiran, maka karunia ini menjadi tidak lebih penting dari karunia bernubuat, karena karunia bahasa roh tanpa penafsiran hanya dapat membangun diri sendiri (ayat 4) sedangkan karunia nubuat dapat membangun iman dan kehidupan rohani jemaat serta mendorong jemaat untuk setia di dalam Kristus (ayat 5, 12, 16-17, 19-26).
§  Bahasa manusia yang dimengerti dan dapat mengajar orang lain lebih berguna dari pada bahasa roh yang tidak dimengerti dan tidak berpengaruh apa-apa bagi orang lain (ayat 6, 18-19).
C.     Bahasa roh harus digunakan secara sopan dan teratur (ayat 33, 40). Disini Paulus mengingatkan agar penggunaan karunia bahasa roh berjalan dengan tertib, tidak boleh dilakukan dalam keadaan ekstasi atau lepas kendali (ayat 27-28).

Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa bahasa roh adalah merupakan salah satu bukti manifestasi Roh Kudus namun itu bukanlah satu-satunya. Manifestasi Roh Kudus tidak selalu ditandai dengan berbahasa roh, karena bahasa roh itu hanyalah salah satu dari karunia-karunia Roh Kudus.

Rasul Paulus memandang pentingnya suatu ketertiban dalam ibadah, termasuk dalam penggunaan karunia roh. Bagaimana mungkin sesuatu yang kita miliki dari Roh Kudus justru tidak tertib? Berdasarkan telaah terhadap surat 1Korintus 14:26 di atas, maka penulis menyusun kesimpulan sebagai berikut:
Pandangan yang menyatakan bahwa semua orang harus berbahasa roh muncul sebagai akibat dari pandangan yang mengajarkan bahwa bahasa roh merupakan tanda mutlak dibaptis Roh Kudus. Pandangan atau pengajaran tersebut telah menjadikan karunia bahasa roh menjadi karunia roh yang menduduki tempat lebih penting dari karunia-karunia roh lainnya. Padahal, dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus, kita tidak menjumpai adanya pernyataan Rasul Paulus yang dapat mendukung pernyataan ini, tetapi sebaliknya kita mendapati pernyataan bahwa karunia ini dianggap tidak berharga jika tidak disertai penafsiran dan dilarang untuk dipakai secara sembarangan. Namun menurut Millard J. Erickson, para pendukung bahasa roh membantah kalau dalam surat tersebut Rasul Paulus melarang penggunaan bahasa roh. Karena menurut mereka, Rasul Paulus hanya menegur penyalahgunaan karunia bahasa roh.[14]
Bantahan para pendukung bahasa roh ini menurut penulis sulit untuk diterima, karena jika benar itu merupakan teguran atas penyalahgunaan karunia ini, maka tidak seharusnya Paulus menganjurkan kepada jemaat di Korintus untuk mengejar karunia lain yang lebih utama (1 Korintus 12:31) dan menyatakan bahwa penggunaan karunia ini jika tidak disertai penafsiran adalah tidak berharga. Itu sebabnya memiliki karunia bahasa bukanlah sesuatu yang mutlak bagi setiap orang percaya.


MANFAAT DAN TUJUAN BAHASA ROH
Bahasa roh itu berguna untuk diri kita sendiri dan juga bagi orang lain. Namun yang perlu diperhatikan adalah sesuai penyataan Rasul Paulus bahwa tujuan pernyataan Roh kepada tiap-tiap orang adalah untuk kepentingan bersama (1 Korintus 12:7) maka karunia apapun yang kita miliki termasuk karunia berbahasa roh, harus kita pergunakan sedemikian rupa sehingga orang lain dapat merasakan manfaatnya baik secara langsung atau tidak langsung. Meski benar bahwa bahasa roh berguna bagi diri kita sendiri tetapi jika karunia itu tidak memberi manfaat kepada orang lain (hanya membangun diri sendiri), maka pemberian karunia itu belum sepenuhnya berhasil memenuhi tujuan atau kehendak si pemberi karunia tersebut, hal ini juga berarti bahwa karunia bahasa roh itu belum berhasil dipergunakan semaksimal mungkin.
Paulus berkata di dalam 1 Korintus 14:5 bahwa orang yang bernubuat lebih berharga dari pada orang yang berkata-kata dengan bahasa roh, kecuali kalau orang itu juga menafsirkannya, sehingga jemaat dapat dibangun, tidaklah dimaksudkan bahwa karunia bahasa roh itu tidak ada artinya, tetapi disini Paulus hendak menyampaikan bahwa orang percaya yang memiliki karunia bahasa roh tetapi tidak memiliki dampak apa-apa kepada orang lain maka orang itu tidak berharga bagi Kerajaan Allah. Karena setiap orang yang dipanggil menjadi orang yang percaya adalah orang yang dipanggil bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk menjadi saksi Kristus bagi orang-orang lain. Karena itu karunia bahasa roh pastilah penting, tetapi menjadi tidak berguna jika tidak punya dampak yang dapat memuliakan Allah, terutama bagi Tubuh Kristus. Ketika semua anggota tubuh Kristus dapat menggunakan karunia-karunia rohaninya masing-masing maka hal ini akan membawa dampak yang luar biasa bagi pertumbuhan gereja Tuhan.

Implikasi Bagi Gereja Masa Kini
Manifestasi karunia bahasa roh dalam pertemuan jemaat harus dilaksanakan dalam konteks membangun jemaat. Alkitab tidak pernah melarang orang berbahasa roh, namun ia selalu memegang prinsip bahwa dalam pertemuan jemaat, karunia bahasa roh harus dipraktikkan untuk kebaikan semua yang hadir serta berjalan dengan tertib dan lancar. Hal ini tentu bertolak belakang dengan apa yang terjadi dalam pertemuan atau kebaktian di kalangan tertentu. Hari ini tidak sulit ditemukan kelompok orang percaya, atas nama sebuah puji dan sembah dalam ibadah, secara simultan mengucapkan (lebih tepat meneriakkan) kalimat-kalimat dalam suku kata yang tidak dapat dimengerti manusia (unintelligible) dalam suasana yang kacau dan tidak terkendali. Adakah manfaat dari fenomena tersebut? Jika ada orang yang mengaku bahwa sewaktu atau setelah mempraktikkan apa yang mereka sebut sebagai bahasa roh tersebut, mereka merasa “lebih dekat kepada Allah, lebih rohani, lebih sukacita, atau melihat kemuliaan Allah,” semua pengakuan tersebut tentu tidak dapat dipertanggungjawabkan secara alkitabiah, karena Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa bahasa roh berfungsi untuk hasil-hasil yang disebutkan di atas.
Selanjutnya adalah bahwa karunia bahasa roh tidak dapat dijadikan baik sebagai tolok ukur tingkat kerohanian seseorang, apalagi sebagai prasyarat keselamatan seseorang, maupun alat untuk mencapai kebangunan rohani sebuah Gereja, karena karunia ini diberikan bukan untuk tujuan tersebut. Hal ini dinyatakan agar kita tidak lagi merasa bahwa karunia bahasa roh adalah sesuatu yang mutlak sebagai tanda orang yang dibaptis oleh Roh Kudus.



[1] Charles C. Ryrie. Teologi Dasar 1. 2007. Penerbit ANDI Offset. Yogyakarta. Hal. 82
[2] Paul Enns. The Moody Handbook Of Theology 1. 2010. SAAT. Malang. Hal. 244
[3] Donald Bridge & David Phypers. Karunia-karunia Roh dan Jemaat. Yayasan Kalam Hidup. Bandung. Hal. 77.
[4] Roberts Liardon. Sekolah Roh Kudus. Yayasan Pekabaran Injil “IMMANUEL”. Jakarta. Hal. 91
[5] Millard J. Erickson. Teologi Kristen 3. Gandum Mas. 2004. Malang. Hal. 57
[6] P. Feine. Speaking With Tongues. Dalam buku The New Schaff – Herzog Encyclopedia of Religious Knowledge, editor Samuel Macauley Jackson. Hal. 37-38
[7] Roberts Liardon. Sekolah Roh Kudus. Yayasan Pekabaran Injil “IMMANUEL”. Jakarta. Hal. 90
[8] Kenneth E. Hagin. Bagaimana Anda Dapat Dituntun Oleh Roh Allah. Yayasan Pekabaran Injil “IMMANUEL”. Jakarta. Hal. 180
[9] DR. C. Peter Wagner. Manfaat Karunia Roh. 2000. Gandum Mas. Malang. Hal. 265
[10] Bible Work. V.8.
[11] Rick Warren. The Purpose Driven Church. 2005. Gandum Mas. Malang. Hal. 246
[12] Dr. David Lim. Spiritual Gifts. 2005. Gandum Mas. Malang. Hal. 286
[13] Ibid.
[14] Millard J. Erickson. Teologi Kristen. hal. 57