BAHASA
ROH: SUATU TINJAUAN TEOLOGIS TERHADAP PENGGUNAAN KARUNIA ROH DI DALAM IBADAH
Latar Belakang
Iman Kristen percaya
akan Allah Tritunggal yaitu Allah yang berhakekat tunggal namun berpribadikan
tiga. Roh Kudus kerap kali disebutkan
sebagai pribadi ketiga dalam kesatuan tersebut. Seperti yang dinyatakan oleh
Arius bahwa Roh Kudus ternyata hanyalah pribadi yang diciptakan oleh Kristus
sebab segala sesuatu dijadikan oleh Dia.[1]
Namun, penyebutan itu tidaklah bermaksud untuk menyatakan bahwa Roh Kudus
adalah pribadi paling rendah di antara ketiganya. Sebaliknya ketiga pribadi ini
adalah satu tanpa keterpisahan eksistensi, secara komplet bersatu membentuk
satu Allah. Natur Ilahi hidup dalam tiga perbedaan Bapa, Anak dan Roh Kudus.[2]
Roh Kudus Dalam
karya-Nya mengerjakan beberapa perkara yang baru, khususnya sejak
kedatangan-Nya pada hari Pentakosta. Ia mendiami orang-orang percaya,
memateraikan mereka sebagai milik Allah. Paulus menuliskan dalam 1 Kor. 12:3
bahwa mereka yang mengaku Yesus Kristus sebagai Tuhan hanyalah mereka yang
didiami oleh Roh Kudus. Tanpa Roh Kudus tak seorangpun dapat menyatakn hal itu.
Ini berarti bahwa peranan Roh Kudus sangat mempengaruhi kehidupan umat Tuhan
sejak mereka percaya dan selama perjalanan kehidupan mereka. Semua orang yang
percaya kepada Kristus mendapat anugerah dari Allah yang kita kenal dengan
karunia rohani. Karunia rohani dalam diri orang percaya adalah perlengkapan
dari Allah bagi pelayanan rohani secara individu (1Kor. 12:11), sekaligus bagi
pendidikan dan pendewasaan gereja (Ef. 4:11-13).
Paulus menuliskan
bahwa ada rupa-rupa karunia dari satu sumber yaitu Roh Allah. Dan salah satu
karunia yang paling kontroversial khususnya dalam gereja-gereja adalah karunia
bahasa Roh. Persoalan yang utama mengenai hal ini berkaitan dengan sifat dan
tujuan karunia tersebut, ditambah lagi sikap beberapa orang Kristen yang
mengeksklusifkan karunia tersebut di antara karunia-karunia Roh yang lain.[3]
Umat Kristen sampai saat ini masih banyak dibingungkan dengan ajaran dari para
pemimpin gereja yang mengharuskan mereka untuk berbahasa roh dalam ibadah
ibadah-ibadah sebagai bukti bahwa mereka telah dipenuhi oleh Roh Kudus. Seperti
yang ungkapakan oleh Roberts Liardon dalam bukunya yang berjudul “Sekolah Roh Kudus” bahwa baptisan Roh
Kudus selalu dibuktikan dengan berkata-kata dalam bahasa roh.[4]
Kenyataan ini juga yang menjadi pengalaman penulis secara pribadi ketika masih
berada dalam penggembalaan dalam gereja di kampung halaman penulis.
Pemahaman yang
mengeksklusifkan karunia bahasa roh didasari oleh peristiwa yang terjadi dalam
kitab Kisah Para Rasul. Argumentasinya bertolak dari pengamatan bahwa sesudah
pertobatan dan kelahiran kembali yang dicatat dalam Kisah Para Rasul, terjadi
suatu kepenuhan yang khusus atau baptisan Roh Kudus yang pada umumnya
dimanifestasikan dengan berkata-kata dalam bahasa yang tidak dikenal.
Pengalaman pun turut ambil bagian dalam mendukung argumentasi karunia
‘glosalia’ ini.[5]
Kabar yang lebih
mengejutkan kita adalah bahwa bahasa roh yang dikenal dengan bahasa lidah itu
menyerupai fenomena-fenomena yang ditemukan di agama-agama lain. Salah satu
contohnya adalah praktik tukang sihir di Hindia Barat, kemudian dari sabda dewa
di Delfi, sebuah tempat yang tidak jauh dari Korintus, terdapat kasus-kasus
kesurupan yang tidak jauh berbeda dengan glosalia yang ditemukan di gereja
Korintus.[6]
Beragam komentar
sudah banyak terlontar dari banyak orang – baik mereka yang pernah berkata-kata
dalam bahasa roh atau mereka yang belum pernah maupun dari mereka yang belum
pernah namun sering mendengarnya. Mereka yang memiliki pengalaman ini ingin
sekali mengerti apa arti yang pernah mereka ucapkan itu, sementara mereka yang
pernah mendengar orang lain berdoa dalam bahasa mengeluhkan, “mengapa mereka
yang memiliki selalu terdengar berdoa dalam bahasa roh itu tidak mengalami
keubahan hidup? Sikap hidupnya masih saja seperti orang dunia, benar-benar Roh
Kudus kah yang bekerja di dalam dia?
Perbincangan
sengit mengenai bahasa Roh yang telah menimbulkan perpecahan diantara umat
Kristen itu juga dilatarbelakangi oleh tafsiran yang beragam terhadap perintah
Alkitab yang mengajarkan kita untuk berdoa dalam Roh. Roberts Liardon
menyatakan bahwa berdoa di dalam Roh itu berarti kita berdoa dalam bahasa roh.[7]
Atau apakah kita sepakat dengan Kenneth memahami berdoa dalam bahasa roh
berarti kita berdoa tanpa akal budi, tanpa penanggapan pancaindera?[8]
Para ahli tentu menggunakan ayat-ayat Alkitab sebagai landasan argumen mereka,
namun benarkah yang Alkitab maksudkan memang seperti itu?
Kenyataan-kenyataan
ini telah sampai kepada jemaat dan tak dapat kita pungkiri bahwa banyak
gereja-gereja telah menjadikan bahasa roh sebagai sesuatu yang harus ada dalam
ibadah gereja. Akibatnya banyak jemaat yang berjuang ‘mati-matian’ untuk
mendapatkan karunia bahasa roh. Ini jelas bertentangan dengan prinsip Alkitab
yang menyatakan bahwa bahasa roh adalah karunia, artinya pemberian dari Allah
kepada siapa Allah berkenan memberikannya. Beberapa di antara mereka (jemaat)
yang tidak memiliki karunia bahasa roh ini juga menjadi ‘minder’ karena merasa
tertuduh belum dibaptiskan oleh Roh Kudus.
Menyadari begitu
pentingnya pemahaman umat Tuhan tentang bahasa roh khususnya dalam
penggunaannya dalam setiap pertemuan ibadah, maka penulis dalam makalah ini
akan memaparkan secara sederhana berkaitan dengan hal tersebut. Apa pengertian
bahasa roh, bagaiman sifatnya, tujuannya dan penerapan praktisnya dalam ibadah.
Semuanya ini akan dibahas dalam bab-bab selanjutnya.
Karunia Roh Kudus
Dalam ajaran
Yesus kita menemukan penekanan yang kuat terhadap peranan Roh Kudus dalam
memprakarsai kehidupan Kristen di dalam diri seseorang. Yesus mengajarkan bahwa
aktivitas Roh Kudus itu perlu sekali esensial baik dalam pertobatan, dan
pembaruan yang merupakan awal kehidupan Kristen. Ada begitu banyak Karya Roh
Kudus dalam diri seorang percaya terutama sejak orang itu percaya kepada
Kristus. Yohanes menuliskan secara lengkap karya-karya Roh Kudus yang berperan
penting dalam kehidupan orang percaya. Roh Kudus memberi kuasaa (Yoh. 14:12),
Roh Kudus berdiam dan menerangi orang percaya (Yoh. 14:16-17), Roh Kudus
berperan sebagai guru (Yoh. 14:26), Roh itu berdoa untuk kita (Rm. 8:26-27),
Roh Kudus yang mengerjakan penyucian dalam kehidupan orang percaya dan Roh
Kudus memberi orang percaya karunia-karunia khusus.
Dalam surat-surat
Paulus ada tiga daftar yang berbeda dari karunia-karunia dan ada juga daftar
singkat tentang itu dalam surat 1Petrus. Beberapa hal perlu dikemukakakan
mengenai karunia-karunia itu: Pertama, sekalipun semuanya merujuk kepada
karunia-karunia Roh Kudus, namun dasar orientasinya berbeda. Efesus 4:11
sesungguhnya merupakan daftar berbagai jabatan dalam gereja atau orang-orang
yang dapat dikatakan beroleh anugerah dari Allah. Apa yang tertulis dalam Roma
12:6-8 dan 1Petrus 4:11 merupakan berbagai fungsi dasar yang harus ada dalam
gereja. Sedangkan apa yang terdapat dalam 1Korintus menunjuk pada kemampuan
pribadi yang istimewa. Kedua, tidak pernah dijelaskan bahwa karunia-karunia
yang kita terima sebagai orang percaya adalah anugerah yang kita peroleh sejak
lahir atau kemampuan yang diperoleh kemudian atau malah perpaduan antar
keduanya. Teologi sistematika pada umumnya menyatakan bahwa karunia-karunia Roh
Kudus itu kita terima sejak kita percaya kepada Kristus. Peter Wagner dalam
bukunya “Manfaat Karunia Roh”, menguraikan ada dua puluh tujuh karunia roh di dalam Perjanjian Baru:[9]
Karunia
Bahasa Roh
Praktek
bahasa roh sudah ada sejak jaman para Rasul
yaitu sejak peristiwa Pentakosta yang tercatat di dalam Kisah Para Rasul
2. Dalam peristiwa ini para Rasul berkata-kata dalam berbagai bahasa, dan orang
banyak dari berbagai rumpun bangsa terheran-heran karena mereka mendengar
perkataan para Rasul dalam bahasa asal mereka. Dalam dua peristiwa berikutnya
karunia bahasa roh juga terjadi pada orang-orang percaya yang bukan keturunan
Yahudi, yaitu peristiwa yang terjadi di Kaisarea, di rumah seorang perwira pasukan Italia bernama Kornelius
dalam Kisah Para Rasul 10 dan peristiwa yang terjadi di Efesus dalam Kisah Para
Rasul 19. Pengalaman berbahasa roh yang terdapat di dalam kitab Kisah Para
Rasul inilah yang menjadi dasar munculnya gerakan yang mengutamakan Roh Kudus
yang saat ini dikenal dengan aliran Pentakosta dan kemudian Kharismatik.
Kelompok ini meyakini bahwa bahasa roh sebagai sesuatu yang mutlak harus
dimiliki oleh seseorang yang telah mengalami baptisan Roh Kudus.
Dalam
perkembangannya, semangat kelompok Pentakosta dan Kharismatik semakin banyak
menarik petobat-petobat baru dan orang-orang Kristen yang haus dan lapar akan
kebenaran. Perkembangan kelompok ini menjadikan karunia bahasa roh menjadi
karunia yang paling kontroversial diantara semua karunia roh yang ada, bahkan
berdampak menimbulkan perdebatan dan perpecahan. Alkitab mencatat bahwa pada
jaman para Rasul fenomena bahasa roh ini juga pernah menjadi perdebatan
ditengah-tengah jemaat Korintus, penyebabnya adalah sikap yang meninggikan
karunia berkata-kata dengan bahasa roh sedemikian rupa sehingga karunia-karunia
roh lainnya dan orang-orang yang tidak memiliki karunia bahasa roh diremehkan.
Hidup mereka yang mengutamakan karunia bahasa roh namun tidak disertai dengan
kehidupan rohani yang benar telah mendorong Paulus melalui suratnya yang
pertama kepada jemaat di Korintus ini untuk mengajar mereka tentang bahasa roh
dan aplikasinya ditengah-tengah jemaat. Untuk menghindari perpecahan seperti
yang terjadi di Korintus ini, tentu saja pengajaran mengenai bahasa roh yang
dikemukakan Rasul Paulus di atas juga perlu untuk dimengerti dan diaplikasikan
ditengah-tengah jemaat pada masa kini.
Defenisi
Bahasa roh adalah salah satu karunia yang diberikan
Roh Kudus kepada gereja. Kata bahasa roh itu sendiri tercatat 24 kali dalam
Alkitab. Secara etimologi bahasa roh berasal dari kata Yunani γλῶσσα (glossa), yang dalam bahasa
Inggris diterjemahkan dengan ‘tongue’ (lidah) berarti bahasa lidah. Ini merupakan
gabungan dari kata glôssa yang
berarti lidah, organ tubuh yang digunakan untuk berbicara, dan kata kerja laleô yang berarti berbicara, berkata,
mengeluarkan suara dari mulut.[10]
Istilah ‘bahasa lidah’, ‘bahasa
asing’, ‘bahasa roh’, dalam Perjanjian Baru menggunakan kata yang sama yaitu
'γλωσσα - glôssa', "lidah". Markus 16:17 menulis 'γλωσσαις λαλησουσιν
καιναις ; glôssais lalêsousin kainais', "berbicara dengan lidah yang
'baru'"; Kisah Para Rasul 2:4 menulis 'lalein heterais glôssais',
"berbicara dengan lidah yang 'lain'. Mulai Kisah Para Rasul 10:45 dan
seterusnya tidak ada lagi kata 'heterôs' (yang lain) maupun 'kainos' (yang
baru), melainkan kata kerja λαλεω - laleô, "berbicara" dan 'γλωσσα -
glôssa', "lidah". Jadi, baik dalam Kisah Para Rasul maupun surat
Korintus menggunakan kata dan ungkapan yang sama yang dewasa ini dikenal dengan
'γλωσσολαλια - glôssolalia'.
Baik bahasa "lidah"
atau karunia "lidah" dengan bahasa "roh" itu sama saja.
Kedua-duanya diterjemahkan dari kata Yunani ‘glôssa’. Istilah bahasa lidah atau
karunia lidah akrab bagi kalangan ‘tempoe
doeloe’ yang akrab dengan Alkitab Terjemahan Lama, yaitu sebelum tahun
1974. Karunia roh dalam Kisah Para Rasul (dimengerti oleh orang lain) dan surat
kiriman Paulus (tidak dimengerti oleh orang lain) menggunakan kata yang sama yaitu
‘glôssa’.
Dokter Lukas mencatat dalam KPR
2:4, tatkala murid-murid yang telah berkumpul dipenuhi dengan Roh Kudus pada
hari Pentakosta, mulailah mereka ‘berkata kedalam bahasa-bahasa (glôssai) lain’
seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk dikatakan. Sehingga
banyak orang Yahudi dari luar Palestina tercengang mendengar puji-pujian bagi
Allah yang dalam bahasa (glôssa, Kisah 2:11) dan dialek-dialek (dialektos,
Kisah 2: 6-8) yang dipakai di negeri mereka sendiri. Walaupun umum diterima bahwa
Lukas melaporkan murid-murid itu berbicara dengan bahasa-bahasa asing, namun
keterangan ini tidak diterima oleh seluruh orang. Sejak dari zaman bapa-bapa
Gereja, ada yang menafsirkan ayat 8 itu sebagai mujizat pendengaran, yang
dikerjakan dalam diri pendengar-pendengar. Yang dimaksud dengan bahasa lidah
disini adalah bahasa lidah yang "benar-benar" merupakan karunia Roh
Kudus, bukan bahasa lidah yang dibuat-buat, dipelajari, atau ditiru.
Ibadah
Kristen
Gereja-gereja
pada umumnya memiliki cara tersendiri dalam menyusun liturgi ibadah mereka,
setiap liturgi menjadi gaya yang khas bagi gereja tersebut. Yesus memberikan
prinsip berkaitan dengan ibadah yang khususnya mengenai penyembahan, “Allah itu
Roh, dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran
(Yoh. 4:24). Komentar Warren mengenai ini ialah bahwa Allah tidak merasa
terganggu atau merasa tidak senang oleh bermacam-macam gaya penyembahan yang
ada selama ibadah itu dilakukan ‘dalam roh’ dan ‘dalam kebenaran.’ Ia
manambahkan bahwa Allah justru malah menyukai keanekaragaman itu sebab menurut
hematnya Allah mempunyai gagasan untuk menjadikan kita semua berbeda.[11]
Gaya
ibadah yang kita senangi biasanya mengungkapkan lebih banyak mengenai latar
belakang kebudayaan mkita daripada mengenai teologi kita. Tiap-tiap gereja
mengklaim bahwa gaya ibadah merekalah yang paling Alkitabiah.Seluruh orang
beriman membentuk suatu umat Allah yang profetik. Ibadah yang sejati tercermin
dalam sikap serta tindakan-tindakan seseorang. Hidup bukan untuk
dikotak-kotakkan menjadi hidup yang sakral dan hidup yang sekular. Kita datang
beribadah untuk menyembah serta memperbaharui kekuatan kita seupaya kita bisa
menyentuh sesama.
Kepada
jemaat Roma, Paulus mengungkapkan suatu ibadah yang sejati, adalah ibadah yang
mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup, berkenan kepada Allah dan
yang sempurna (Rm. 12:1). Sebelas pasal pertama kita Roma merinci tentang kasih
karunia Allah kepada umat-Nya. Dalam ps 12:1, kata “karena itu” mengacu kepada
semua kasih karunia Allah itu yang kita terima sebagai sesuatu yang isitimewa.
Tanggung
jawab kita adalah hidup menjadi persembahan yang hidup bagi Tuhan. Ketika kita
memiliki sudut pandang semacam ini maka kita akan melihat Tuhan
memanifestasikan suatu karunia melalui kita kapanpun dan dalam keadaan apapun.
Penggunaan
Bahasa Roh Dalam Ibadah
Beberapa
orang berpendapat bahwa karunia terutama dinyatakan dalam ibadah kebaktian di
gereja. Namun, orang tidak dapat memisahkan karunia-karunia dalam ibadah
kebaktian gereja dari karunia-karunia dalam misi atau penginjilan. Konteks
rupa-rupa karunia dalam 1Korintus jelas dalam gereja. Dalam konteks 1Korintus
14:26-40 rasul Paulus menyebutkan paling tidak tiga karunia roh, yaitu
berbahasa roh, menafsirkan bahasa roh itu dan bernubuat. Tetapi karunia untuk bernubuat
mewakili semua karunia lisan yang terurapi dengan bahasa yang dipahami oleh
jemaat.[12]
Semua karunia ini dapat segera diuji, dianjurkan, dan dikonfirmasikan. Paulus
mengatakan, “Sebab kamu semua boleh
bernubuat seorang demi seorang, sehingga kamu semua dapat belajar dan beroleh
kekuatan... Usahakanlah dirimu untuk memperoleh karunia untuk bernubuat.”
(1Korintus 14:31, 39). Dengan memahami prinsip-prinsip Paulus mengenai berbagai
karunia untuk bernubuat kita dapat lebih mengenal seluruh alam karunia.[13]
Eksposisi
1Korintus 14:26-40
Bagian
kitab ini menunjukkan adanya pastrisipasi seluruh jemaat. Paulus memakai kata
“semua” (pantos) sebanyak tiga kali
yang mengacu pada seluruh jemaat (14:31). Dasar dari karunia-karunia tersebut
mencerminkan sifat-sifat yang sesungguhnya (14:33). Jadi tujuan-tujuan akhirnya
adalah membangun jemaat (14:26) serta saling mengajar dan saling memberi kekuatan
(14:31). Kita juga dapat melihat mengenai penjelasan waktu penggunaan yang
tepat dan tempat yang pantas (14:27).
Kata
“has” diulang di depan setipa karunia
dalam bahasa Yunani untuk menekankan bahwa setiap orang berpotensi menyumbang.
Sehingga banyak orang dapat ikut berbagi dalam kebaktian tersebut, tidak ada
satu karunia punlebih unggul daripada karunia-karunia lainnya. Jadi fokusnya
yaitu sesuatu yang sedang diperbuat Allah bukannya sesuatu yang sedang
dilakukan oleh manusia. Karunia untuk berbahasa roh tidak mendominasi seluruh
kebaktian, agar beragam karunia digunakan untuk melayani juga.
Untuk
memahami bagaimana menggunakan karunia bahasa roh seperti yang dimaksudkan
rasul Paulus dalam 1 Korintus 14:26-40 maka mari kita terlebih dulu memahami
konsep Paulus sendiri mengenai bahasa roh itu: Paulus menunjuk kepada
pengalaman pribadinya, kepada penggunaan bahasa roh secara pribadi (1 Kor.
14:15). "Aku berdoa dengan
rohku" berarti berdoa dengan bahasa roh, dengan menggunakan rohnya
sendiri oleh dorongan Roh Kudus. Roh orang percaya berdoa sementara Roh Kudus
memberikan apa yang harus dikatakannya. Di sini Paulus membicarakan tentang
penggunaan bahasa roh secara pribadi yang ditujukan kepada Allah. Paulus
menggunakan bahasa roh tidak hanya untuk berdoa, tetapi juga untuk menyanyi,
memuji, dan mengucapkan syukur kepada Allah.
"Berdoa dengan akal
budiku" berarti berdoa dan memuji dengan akal
budinya sendiri dalam bahasa yang telah dipelajarinya, juga oleh dorongan Roh
Kudus. Bagi Paulus, penggunaan utama bahasa roh, baik dalam jemaat maupun
secara pribadi, adalah terutama untuk berbicara kepada Allah dan bukan kepada
manusia (1 Kor. 14:2). Ketika bahasa roh ditujukan kepada Allah, maka pembicara
itu sedang berhubungan dengan Allah oleh Roh Kudus dalam bentuk doa, pujian,
nyanyian, ucapan berkat, dan ucapan syukur. Yang diucapkan itu adalah
"hal-hal yang rahasia", yaitu hal-hal yang tidak dapat dipahami oleh
pembicara itu dan oleh para pendengar. Penafsiran ucapan dalam bahasa roh itu
mengizinkan jemaat untuk masuk ke dalam manifestasi dari penyembahan yang
dipimpin Roh sehingga mereka dapat berkata "Amin" kepada doa atau
pujian yang diilhami Roh.
Bahasa
roh adalah salah satu karunia roh yang dapat kita temui di dalam pertemuan
kebaktian jemaat. Dan rasul Paulus menjelaskan semacam ketetapan-ketetapan
terkait penggunaan bahasa roh tersebut. Jika ada yang berkata-kata dengan
bahasa roh, biarlah dua atau sebanyak-banyaknya tiga orang, seorang demi
seorang, dan harus ada seorang lain untuk menafsirkannya. Jika tidak ada orang
yang dapat menafsirkannya, hendaklah mereka berdiam diri dalam pertemuan Jemaat
dan hanya boleh berkata-kata kepada dirinya sendiri dan kepada Allah. (1
Korintus 14:26-27).
Ada
satu hal yang harus menjadi catatan penting bagi kita, bahwa bahasa roh tidak
ditujukan kepada orang lain, karena bahasa roh adalah bahasa yang tidak
dimengerti, kecuali jika ada yang menafsirkannya atau bahasa rohnya adalah
jenis bahasa roh yang menyerupai bahasa yang dikenal di bumi. Jadi kita harus
berhati-hati dalam menggunakan bahasa roh dalam pertemuan jemaat atau dalam
ibadah, kecuali memang motivasi kita melakukannya adalah dalam doa dan
penyembahan kepada Allah.
Masalah
dalam jemaat di Korintus adalah mereka terlalu menonjolkan karunia ini dengan
berkata-kata satu dengan yang lainnya dengan bahasa roh, padahal arti bahasa
roh tersebut tidak dimengerti. Mereka berlomba-lomba dalam berbahasa roh,
makanya Rasul Paulus mengatakan biarlah dua atau tiga orang saja yang
berkata-kata dengan bahasa roh, bergantian dan itupun jika ada orang yang
memiliki karunia menafsirkan bahasa roh. Jika tidak ada, Rasul Paulus
mengatakan lebih baik bahasa roh itu tidak digunakan untuk orang lain dan hanya
boleh ditujukan kepada Allah dan dirinya sendiri.
Rasul
Paulus mengatakan jangan melarang penggunaan bahasa roh dalam ibadah, hanya
harus dilakukan dengan sopan dan teratur
(1 Kor 14:39), makanya kita harus berhati-hati dalam penggunaan bahasa
roh tersebut. Tetapi jangan sampai karunia tersebut tidak digunakan, karena
dengan begitu fungsi yang luarbiasa dari
berbahasa roh, jadi tidak dapat kita manfaatkan. Di ahkir tulisannya pada bagian ini, Paulus
mengatakan bahwa “segala sesuatu harus
berlangsung dengan sopan dan teratur.” Ini memberitahukan bahwa bahasa roh
dalam jemaat sah-sah saja namun tetap harus teratur sebagaimana Roh Kudus
adalah Roh yang mendatangkan kedamaian.
BAHASA ROH MENURUT 1KORINTUS 14
Paulus
menyampaikan kepada jemaat di Korintus sebuah pengajaran tentang penggunaan
karunia bahasa roh. Pengajaran ini tentu juga berlaku buat gereja masa kini.
Pengajaran tentang penggunaan bahasa roh menurut pasal ini adalah sebagai
berikut :
A.
Dalam setiap penggunaan
karunia-karunia roh, harus dilandasi oleh kasih (ayat 1) Ayat pertama dalam
pasal 14 ini Paulus mengingatkan pentingnya Kasih sebagaimana yang
dijelaskannya dalam pasal 13 bahwa tanpa adanya kasih maka semua karunia roh
termasuk karunia bahasa roh tentu akan sia-sia.
B.
Berbahasa roh
ditengah-tengah jemaat hanya dianjurkan jika ada yang dapat menafsirkannya.
§ Tanpa
penafsiran, maka karunia bahasa roh hanya digunakan secara pribadi untuk
berkomunikasi dengan Allah, melalui doa, pujian
dan ucapan syukur (ayat 2, 13-17,
27-28).
§ Tanpa
penafsiran, maka karunia ini menjadi tidak lebih penting dari karunia
bernubuat, karena karunia bahasa roh tanpa penafsiran hanya dapat membangun
diri sendiri (ayat 4) sedangkan karunia nubuat dapat membangun iman dan
kehidupan rohani jemaat serta mendorong jemaat untuk setia di dalam Kristus
(ayat 5, 12, 16-17, 19-26).
§ Bahasa
manusia yang dimengerti dan dapat mengajar orang lain lebih berguna dari pada
bahasa roh yang tidak dimengerti dan tidak berpengaruh apa-apa bagi orang lain
(ayat 6, 18-19).
C.
Bahasa roh harus
digunakan secara sopan dan teratur (ayat 33, 40). Disini Paulus mengingatkan
agar penggunaan karunia bahasa roh berjalan dengan tertib, tidak boleh
dilakukan dalam keadaan ekstasi atau lepas kendali (ayat 27-28).
Dari
uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa bahasa roh adalah merupakan salah
satu bukti manifestasi Roh Kudus namun itu bukanlah satu-satunya. Manifestasi
Roh Kudus tidak selalu ditandai dengan berbahasa roh, karena bahasa roh itu
hanyalah salah satu dari karunia-karunia Roh Kudus.
Rasul
Paulus memandang pentingnya suatu ketertiban dalam ibadah, termasuk dalam
penggunaan karunia roh. Bagaimana mungkin sesuatu yang kita miliki dari Roh
Kudus justru tidak tertib? Berdasarkan telaah terhadap surat 1Korintus 14:26 di
atas, maka penulis menyusun kesimpulan sebagai berikut:
Pandangan
yang menyatakan bahwa semua orang harus berbahasa roh muncul sebagai akibat
dari pandangan yang mengajarkan bahwa bahasa roh merupakan tanda mutlak
dibaptis Roh Kudus. Pandangan atau pengajaran tersebut telah menjadikan karunia
bahasa roh menjadi karunia roh yang menduduki tempat lebih penting dari
karunia-karunia roh lainnya. Padahal, dalam suratnya yang pertama kepada jemaat
di Korintus, kita tidak menjumpai adanya pernyataan Rasul Paulus yang dapat mendukung
pernyataan ini, tetapi sebaliknya kita mendapati pernyataan bahwa karunia ini
dianggap tidak berharga jika tidak disertai penafsiran dan dilarang untuk
dipakai secara sembarangan. Namun menurut Millard J. Erickson, para pendukung
bahasa roh membantah kalau dalam surat tersebut Rasul Paulus melarang
penggunaan bahasa roh. Karena menurut mereka, Rasul Paulus hanya menegur
penyalahgunaan karunia bahasa roh.[14]
Bantahan
para pendukung bahasa roh ini menurut penulis sulit untuk diterima, karena jika
benar itu merupakan teguran atas penyalahgunaan karunia ini, maka tidak
seharusnya Paulus menganjurkan kepada jemaat di Korintus untuk mengejar karunia
lain yang lebih utama (1 Korintus 12:31) dan menyatakan bahwa penggunaan
karunia ini jika tidak disertai penafsiran adalah tidak berharga. Itu sebabnya
memiliki karunia bahasa bukanlah sesuatu yang mutlak bagi setiap orang percaya.
MANFAAT DAN TUJUAN BAHASA ROH
Bahasa
roh itu berguna untuk diri kita sendiri dan juga bagi orang lain. Namun yang
perlu diperhatikan adalah sesuai penyataan Rasul Paulus bahwa tujuan pernyataan
Roh kepada tiap-tiap orang adalah untuk kepentingan bersama (1 Korintus 12:7)
maka karunia apapun yang kita miliki termasuk karunia berbahasa roh, harus kita
pergunakan sedemikian rupa sehingga orang lain dapat merasakan manfaatnya baik
secara langsung atau tidak langsung. Meski benar bahwa bahasa roh berguna bagi
diri kita sendiri tetapi jika karunia itu tidak memberi manfaat kepada orang
lain (hanya membangun diri sendiri), maka pemberian karunia itu belum
sepenuhnya berhasil memenuhi tujuan atau kehendak si pemberi karunia tersebut,
hal ini juga berarti bahwa karunia bahasa roh itu belum berhasil dipergunakan
semaksimal mungkin.
Paulus
berkata di dalam 1 Korintus 14:5 bahwa orang yang bernubuat lebih berharga dari pada orang
yang berkata-kata dengan bahasa roh, kecuali kalau orang itu juga
menafsirkannya, sehingga jemaat dapat dibangun, tidaklah dimaksudkan bahwa
karunia bahasa roh itu tidak ada artinya, tetapi disini Paulus hendak
menyampaikan bahwa orang percaya yang memiliki karunia bahasa roh tetapi tidak
memiliki dampak apa-apa kepada orang lain maka orang itu tidak berharga bagi
Kerajaan Allah. Karena setiap orang yang dipanggil menjadi orang yang percaya
adalah orang yang dipanggil bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk
menjadi saksi Kristus bagi orang-orang lain. Karena itu karunia bahasa roh
pastilah penting, tetapi menjadi tidak berguna jika tidak punya dampak yang
dapat memuliakan Allah, terutama bagi Tubuh Kristus. Ketika semua anggota tubuh
Kristus dapat menggunakan karunia-karunia rohaninya masing-masing maka hal ini
akan membawa dampak yang luar biasa bagi pertumbuhan gereja Tuhan.
Implikasi
Bagi Gereja Masa Kini
Manifestasi
karunia bahasa roh dalam pertemuan jemaat harus dilaksanakan dalam konteks
membangun jemaat. Alkitab tidak pernah melarang orang berbahasa roh, namun ia
selalu memegang prinsip bahwa dalam pertemuan jemaat, karunia bahasa roh harus
dipraktikkan untuk kebaikan semua yang hadir serta berjalan dengan tertib dan
lancar. Hal ini tentu bertolak belakang dengan apa yang terjadi dalam pertemuan
atau kebaktian di kalangan tertentu. Hari ini tidak sulit ditemukan kelompok
orang percaya, atas nama sebuah puji dan sembah dalam ibadah, secara simultan
mengucapkan (lebih tepat meneriakkan) kalimat-kalimat dalam suku kata yang
tidak dapat dimengerti manusia (unintelligible) dalam suasana yang kacau dan tidak
terkendali. Adakah manfaat dari fenomena tersebut? Jika ada orang yang mengaku
bahwa sewaktu atau setelah mempraktikkan apa yang mereka sebut sebagai bahasa
roh tersebut, mereka merasa “lebih dekat kepada Allah, lebih rohani, lebih
sukacita, atau melihat kemuliaan Allah,” semua pengakuan tersebut tentu tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara alkitabiah, karena Alkitab tidak pernah
mengajarkan bahwa bahasa roh berfungsi untuk hasil-hasil yang disebutkan di
atas.
Selanjutnya
adalah bahwa karunia bahasa roh tidak dapat dijadikan baik sebagai tolok ukur
tingkat kerohanian seseorang, apalagi sebagai prasyarat keselamatan seseorang,
maupun alat untuk mencapai kebangunan rohani sebuah Gereja, karena karunia ini
diberikan bukan untuk tujuan tersebut. Hal ini dinyatakan agar kita tidak lagi
merasa bahwa karunia bahasa roh adalah sesuatu yang mutlak sebagai tanda orang
yang dibaptis oleh Roh Kudus.
[1]
Charles C. Ryrie. Teologi Dasar 1.
2007. Penerbit ANDI Offset. Yogyakarta. Hal. 82
[2]
Paul Enns. The Moody Handbook Of Theology
1. 2010. SAAT. Malang. Hal. 244
[3]
Donald Bridge & David Phypers. Karunia-karunia
Roh dan Jemaat. Yayasan Kalam Hidup. Bandung. Hal. 77.
[4]
Roberts Liardon. Sekolah Roh Kudus.
Yayasan Pekabaran Injil “IMMANUEL”. Jakarta. Hal. 91
[5]
Millard J. Erickson. Teologi Kristen 3. Gandum Mas. 2004. Malang. Hal. 57
[6]
P. Feine. Speaking With Tongues. Dalam buku The New Schaff – Herzog
Encyclopedia of Religious Knowledge, editor Samuel Macauley Jackson. Hal. 37-38
[7]
Roberts Liardon. Sekolah Roh Kudus.
Yayasan Pekabaran Injil “IMMANUEL”. Jakarta. Hal. 90
[8]
Kenneth E. Hagin. Bagaimana Anda Dapat
Dituntun Oleh Roh Allah. Yayasan Pekabaran Injil “IMMANUEL”. Jakarta. Hal.
180
[9]
DR. C. Peter Wagner. Manfaat Karunia Roh.
2000. Gandum Mas. Malang. Hal. 265
[10]
Bible Work. V.8.
[11]
Rick Warren. The Purpose Driven Church.
2005. Gandum Mas. Malang. Hal. 246
[12]
Dr. David Lim. Spiritual Gifts. 2005.
Gandum Mas. Malang. Hal. 286
[13]
Ibid.
[14]
Millard J. Erickson. Teologi Kristen.
hal. 57